Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Gobel: APBN 2022 Harus Didukung Kebijakan Non-Fiskal yang Lebih Efektif

        Gobel: APBN 2022 Harus Didukung Kebijakan Non-Fiskal yang Lebih Efektif Kredit Foto: DPR
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Wakil Ketua DPR RI Korinbang Rachmat Gobel menilai, APBN 2022 cukup realistis dan terlihat hati-hati seperti tecermin dari volume belanja negara yang sedikit lebih rendah dibandingkan APBN 2021 dan defisit anggaran 2022 yang juga jauh lebih rendah dibandingkan 2021. 

        “Dilihat dari struktur APBN 2022, daya dukungnya terhadap pertumbuhan ekonomi mungkin tidak sekuat APBN 2021. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran pembangunan yang ditetapkan pemerintah, kuncinya adalah pelaksanaan APBN 2022 harus mendapat dukungan kebijakan non-fiskal yang lebih efektif,” kata Rachmat Gobel, Selasa (17/8).

        Seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas Undang-undang APBN Tahun Anggaran 2022 Beserta Nota Keuangannya di Depan Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (16/08), Belanja Negara pada 2022 direncanakan sebesar Rp 2.708,7 triliun atau 1,5% lebih rendah dibandingkan anggaran 2021 ini.

        Baca Juga: Prabowo Subianto Terkagum-kagum pada Keberhasilan China karena...

        Belanja itu meliputi alokasi untuk Pemerintah Pusat Rp 1.983,3 triliun atau turun 0,83% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 1.954,5 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 770,4 triliun atau turun 3,16% dibandingkan sebelumnya Rp 795,5 triliun. Belanja Pemerintah Pusat antara lain dialokasikan Rp 255,3 triliun, Perlindungan Sosial Rp 427,5 triliun, Pendidikan Rp 541,7 triliun, dan Infrastruktur Rp 384,8 triliun.

        Belanja tersebut akan dibiayai Penerimaan Pajak Rp 1.506,9 triliun atau naik 4,32% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 1.444,5 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 333,2 triliun atau naik 11,74% dibandinngkan tahun sebelumnya Rp 298,2 triliun, dan Pembiayaan Defisit sebesar Rp 868,0 triliun atau turun 13,75% dibanding anggaran sebelumnya Rp 1.006,4 triliun.

        Gobel memaklumi,  pemerintah mengerem belanja negara pada 2022 karena kebijakan fiskal tahun depan memang harus diarahkan untuk memberikan fondasi yang kokoh untuk konsolidasi fiskal menuju ke defisit maksimal 3% terhadap PDB pada tahun 2023. 

        “Anggaran tahun 2022 memang harus lebih bersifat konsolidasi karena itu kebijakan nonfiskal menjadi sangat penting. Ini artinya kreativitas dan kemampuan kementerian dan lembaga melahirkan kebijakan untuk mendorong pergerakan ekonomi menjadi sangat penting. Ini tantangan besar, meningkatkan sinergi dan koordinasi antar instansi atau kementerian agar sasaran pembangunan 2022 yang ditetapkan pemerintah bisa tercapai,” katanya. 

        Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan, sasaran pembangunan pada 2022 adalah menekan tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,5-6,3%. Kemudian tingkat kemiskinan di kisaran 8,5-9,0%, dengan penekanan pada penurunan kemiskinan ekstrem serta tingkat ketimpangan, rasio gini di kisaran 0,376-0,378, serta indeks pembangunan manusia di kisaran 73,41-73,46.

        Meskipun berat, Gobel cukup optimistis bahwa sasaran pembangunan bisa tercapai. Namun  dengan catatan kementerian mampu lebih bekerja keras untuk menyusun program dan kebijakan agar bisa lebih efektif mendorong pertumbuhan ekonomi dan pencapaian sasaran yang ditetapkan tersebut. 

        “Dengan adanya UU Cipta Kerja, kementerian dan lembaga pemerintah sebetulnya mempunyai ruang gerak yang lebih luas dalam mendorong dinamika ekonomi baik sektor perdagangan, industri, pariwisata dan investasi. Tinggal bagaimana peluang ini bisa diefektifkan dengan koordinasi yang lebih baik dan menghilangkan ego sektoral,” katanya.

        Baca Juga: Jokowi Tak Minta Maaf Sedikit Pun: Tak Ada Empati dan Rasa Duka Cita!

        Prioritaskan TKDN dan UMKM

        Gobel juga menekankan, untuk bisa mencapai sasaran pembangunan tersebut, kementerian dan daerah harus lebih memprioritas belanja negara pada produk dalam negeri yang sudah memenuhi ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), dan menjauhi penggunaann produk impor. Penggunaan produk dalam negeri tidak hanya berdampak positif terhadap proses pemulihan dan pertumbuhan ekonomi, sekaligus membuka peluang kerja yang sangat dibutuhkan dalam menurunkan angka pengangguran. 

        “Semaksimal mungkin, belanja kementerian dan lembaga harus menggunakan produk dalam negeri,” ujarnya.

        Selain itu, pemerintah juga diminta untuk memberi perhatian yang lebih besar terhadap upaya pemulihan sektor UMKM. Pemulihan sektor ini akan mempercepat pemulihan ekonomi secara keseluruhan karena faktanya kontribusi terbesar pada PDB dan penyerapan lapangan kerja selama ini ada pada sektor UMKM.

        “Insentif yang lebih besar perlu dialokasi untuk UMKM agar mereka bisa kembali bergerak dari keterpurukan selama pandemi Covid-19,” katanya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: