Dampak Vonis 12 Tahun untuk Juliari, 'Masyarakat Melihat Pemerintah itu Sangat Korupsi'
Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mengkritik vonis 12 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara dalam kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19.
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman menilai Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bermain aman dalam menjatuhkan vonis untuk Juliari.
"Kenapa saya sebut hakim main aman, karena tidak jauh dari tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK, 11 tahun. Saya melihat bahwa hakim tidak memberikan hukuman maksimal kepada Juliari," kata Zaenur dikutip dari Republika, Senin (23/8).
Padahal, kata Zaenur, perbuatan Juliari sangat serius lantaran melakukan tindak korupsi saat kondisi bencana non-alam, yaitu wabah Covid-19. Juliari melakukan korupsi bansos yang ditujukan untuk menangani dampak sosial dari Covid-19.
"Saya kecewa dengan vonis 12 tahun, hakim tak mau menggunakan kesempatan yang diberikan Undang-Undang. Yaitu dalam Pasal 12 b UU Tipikor itu kan bisa dijatuhi hukuman seumur hidup atau setingginya 20 tahun. Itu tidak digunakan majelis Hakim," ujar Zaenur.
Dia mengatakan, jika vonis majelis hakim terhadap Juliari tidak jauh dari tuntutan jaksa, maka kemungkinan jaksa penuntut tak akan mengajukan banding.
"Nah ini tergantung terdakwa apa akan ajukan banding atau menerima," katanya.
Selain itu, Zaenur menilai vonis Juliari tidak keras dan tak menunjukan bahwa korupsi bansos berdampak serius. Padahal Juliari mempengaruhi kualitas bansos yang merugikan masyarakat secara langsung.
Selain itu juga, tindak korupsi bansos ini menggerus kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam upaya penanganan Covid-19.
"Jadi karena ada korupsi terdakwa ini, masyarakat kemudian melihat pemerintah itu sangat korupsi. Karena dana bantuan Covid justru dikorupsi oleh pimpinan tertinggi kementrian yang menangani urusan sosial," kata Zaenur.
Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Juliari juga dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp14,59 miliar.
Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun satu bulan setelah putusan pengadilan, maka harta bendanya akan disita dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama dua tahun.
Uang suap itu diterima dari sejumlah pihak. Sebanyak Rp1,28 miliar diterima dari Harry van Sidabukke, Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp29,25 miliar dari beberapa vendor bansos Covid-19 lainnya.
Dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal memberatkan, perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria.
"Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," kata Ketua Majelis Hakim M Damis.
Selain itu , perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah Covid-19. Tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat juga menunjukkan grafik peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Sementara hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dijatuhi pidana. Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat.
"Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," kata Hakim.
Selama persidangan kurang lebih 4 bulan terdakwa juga hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar.
Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: