Pakar: Indonesia Butuh Cara Ekonomi Baru untuk Keluar Dari Jebakan Ketimpangan Ekonomi
Diskusi Zoominari Kebijakan Publik yang berjudul Waspadai Ketimpangan Ekonomi Akibat Pandemi dengan Narasumber berbagai pakar ekonomi diantaranya adalah Anthony Budiawan, Managing Director PEPS, Fuad Bawazier, Ekonom Seniorm dan Menteri Keuangan 1998, Prof Didik J Rachbini, Ekonom Senior dan Pendiri INDEF, Fadhil Hasan yang dipandu oleh Achmad Nur Hidayat.
Ekonom Senior, Fadhil Hasan melihat 3 disrupsi besar sedang melanda dunia dan mengakibatkan dunia yang terbelah antara kelompok kaya dan kelompok marginal.
Baca Juga: Anthony Budiawan: Tiap Pertumbuhan Ekonomi Pasti Buat Kesenjangan Sosial Meningkat
"Terdapat tiga disrupsi yang sekarang sedang berlangsung yang akan mengubah struktur perekonomian nasional ke depan. Pertama, digitalisasi ekonomi didorong oleh perkembangan teknologi informasi (IT), kecerdasan buatan (AI), robotic, automatisasi, dan internet of things. Kedua, perubahan iklim dan pemanasan global akibat dari ekspoitasi sumberdaya yang tidak bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Ketiga, pandemi Covid-19 yang merubah tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat ke depan. Cara kita bekerja, belajar, berinteraksi dan bersosialisasi akan mengalami normal baru yang berbeda dengan sebelumnya," ujar Fadhil Hasan dalam webinar Narasi Insititute Jumat 3/9/21.
Fadhil Hasan menilai Dampak dari 3 disrupsi yaitu digitalisasi, perubahan iklim dan pandemi COVID19 maka negara di dunia akan menjadi dua kelompok besar yaitu negara kuat yang lebih cepat pulih dan negara lemah yang lamban pulih.
"Semua negara kini sedang menata kembali perekonomiannya menghadapi tiga disrupsi besar dalam kehidupan manusia. Negara-negara yang selama ini telah memiliki basis perekonomian yang solid, kuat dan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi disertai sumber daya manusia yang berkualitas relatif lebih siap merespon disrupsi ini dan akan keluar dari krisis akibat pandemi ini dengan lebih cepat dan berkelanjutan," paparnya.
Fadhil Hasan mengatakan negara yang kuat memiliki kemampuan beradaptasi dan perencanaan yang matang.
"Negara-negara ini mengambil langkah yang radikal, dan terencana dan besar. Beberapa diantaranya adalah pembangunan ekosistem dan infrastruktur IT dan melakukan investasi di bidang R&D dalam skala yang besar. Selain itu, pemerintah juga mendorong pelaksanaan paradigma berbasis ESG melalui Green New Deal, pembangunan zero/negative carbon, dan praktek-praktek berkelanjutan dalam setiap industri." Ujar Fadhil Hasan .
Fadhil Hasan menjelaskan bahwa negara yang mengandalkan pada perekonomian primitif sumber daya alam dan tertinggal dalam pengetahuan akan memiliki pertumbuhan yang jauh tertinggal. Menurutnya ketimpangan antar kedua negara tersebut akan sangat besar.
"Sementara negara-negara yang mengandalkan perekonomiannya pada eksploitasi sumber daya alam dan tidak berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi masih terus bergelut untuk menghadapi pandemi Covid 19 di satu sisi, dan relatif tidak memiliki kesiapan untuk bisa merespon dengan cepat tepat berbagai disrupsi bessar yang tengah berlangsung."
"Dengan demikian, dalam tataran global ketimpangan perekonomian selama ada akan semakin meningkat dan menguat. Gejala ini nampak saat ini dimana negara-negara maju sudah lebih cepat pulih perekonomiannya dibanding dengan negara-negara kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju jauh lebih tinggi dibanding dengan negara-negara berkembang," beber Fadhil Hasan.
Fadhil Hasan mengatakan bahwa dalam konteks internal negara berkembang, isu ketimpangan ekonomi jauh lebih memprihatinkan lagi.
"Namun disisi lain, kesenjangan ekonomi yang semakin membesar juga terjadi di dalam perekonomian nasional di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sebagai akibat dari disrupsi tersebut. Ketimpangan ini berakar dari adanya struktur sosial ekonomi yang timpang yang terdapat di negara-negara tersebut yang terwujud dari adanya kesenjangan antar daerah, kota dan desa, antar sektor, antar kelompok pendapatan dan ketimpangan akses terhadap sumberdaya ekonomi dan teknologi. Jadi adanya disrupsi ini justru memperkuat dan memperlebar kesenjangan yang ada, dan bukan memperbaikinya," ujar Fadhil.
Fadhil memprediksi bahwa model pertumbuhan di tataran global maupun nasional akan berbentuk huruf K. Ada yang naik dan ada yang turun. Sayangnya yang turun di negara berkembang jauh lebih banyak.
"Dengan demikian, disrupsi yang terjadi dikhawatirkan akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi menyerupai huruf K baik dalam tataran global maupun nasional," papar Fadhil Hasan.
Fadhil menyarakan untuk menghindari ketimpangan yang lebih besar, Indonesia perlu paradigma ekonomi baru diantaranya reformasi struktural ekonomi global dan nasional yang lebih melibatkan komunitas dan keadilan.
"... Agar hal ini tidak terjadi dan untuk memastikan bahwa disrupsi ini membawa manfaat sosial ekonomi bagi semua maka diperlukan berbagai langkah dan reformasi struktural perekonomian global dan nasional. Namun reformasi struktural saja tidak cukup, apalagi jika hanya bertumpu pada paradigma pembangunan yang berbasis pada pertumbuhan konvensional."
"Reformasi struktural harus bertumpu pada upaya untuk menciptakan struktur perekonomian yang lebih adil dan berimbang serta berkelanjutan. Reformasi struktural berkeadilan dan berkelanjutan mensyaratkan pentingnya peranan negara dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi nya pada area yang memiliki prioritas tinggi dan berdampak besar bagi perekonomian," ujar Fadhil Hasan.
Fadhil berharap proses pemulihan ekonomi harus memiliki prinsip reformasi struktural berkeadilan sehingga program pemulihan komprehensif dan berkelanjutan.
"Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung harus inklusif dan memberi manfaat bagi semua serta berkelanjutan. Stimulus fiskal sebagai instrumen ekonomi penting yang dimiliki pemerintah harus didedikasikan pada area pembangunan infrastruktur dan ekosistem IT, R&D, perluasan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, dan layanan usaha kecil dan menengah. Bukan dialokasikan kepada bidang-bidang yang justru menambah ketimpangan dan memiliki dampak bersifat jangka panjang. Intinya harus ada prioritas dalam alokasi anggaran negara. Kebijakan pembangunan juga harus ditujukan untuk memastikan bahwa pengelolaan industri dijalankan secara berkelanjutan menuju zero carbon. Instrumen fiskal kembali menjadi penting melalui skema insentif dan disinsentif fiskal.," ungkap Fadhil Hasan.
Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute mengatakan paradigma ekonomi baru yang memperkecil gap ketimpangan manakala ekonomi dibangun bukan selalu melibatkan pemilik modal (shareholders) namun juga melibatkan komunitas pemangku kepentingan (stakeholders).
"Paradigma ekonomi baru yang diperlukan untuk keluar dari jebakan ketimpangan adalah menempatkan shareholder (pemilik modal) setara dengan komunitas pemangku kepentingan (stakeholders)". Ujar ANH.
Antoni Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) mengatakan bahwa ketimpangan ekonomi kelompok atas karena mereka memiliki pendapatan lain yang tidak terdampak dari pandemi yaitu memiliki aset dan capital gain.
Fuad Bawazier, ekonomi senior mengatakan bahwa fiscal chaos akan terjadi di Indonesia manakala pendapatan tidak dapat menutupi beban belanja negara. Belanja negara yang dihabiskan untuk program mengatasi ketimpangan faktnya hanya berbentuk mesin propaganda dan tidak mengatasi ketimpangan riilnya.
”Herd Immunity yang diharapkan pemerintah. Kunci herd immunity adalah vaksinasi. Indonesia masih jauh dari capaian vaksinasi yang diharapkan agar tercipta herd immunity yang akan meningkatkan ekonomi. Banyak pihak yang mengambil keuntungan dalam pandemi ini. Banyak terjadi spekulasi dalam kondisi saat ini. Ada juga yang memiliki motif politik seperti perpanjangan kekuasaan 3 periode atas dasar pandemi.:
"Keadaan fiskal kita semakin memprihatinkan. Pemerintah melakukan Radikal eksperimen dalam mendapatkan keuangan untuk menambal keuangan negara. Yang dilakukan justru menggunakan mesin propaganda untuk menutupi kondisi yang ada. Fiskal Chaos ada Gap hutang yang tinggi dengan kemampuan membayar hutang. Krisis yang serius terjadi karena adanya gagal bayar itulah Fiskal Chaos. Jangan sampai Indonesia menjadi produsen vaksin karena akan menggangu kelompok negara produsen vaksin. Dulu yang tidak bisa ditembus Economic HitMan adalah terkait SUN. Saat ini Economic Hitman sudah bisa tembus keuangan Negara, hutang negara dan tidak ada makan siang yang gratis,” ungkap Fuad Bawazier.
Didik J Rachbini, Ekonom Senior dan Pendiri Indef mengatakan bahwa bantuan sosial untuk mengatasi ketimpangan ekonomi tidak bekerja dan hanya sekedar meningkatkan popularitas pemerintah di mata masyarakat.
”Pemerintah banyak menyebar bantuan sosial sehingga ini meningkatkan popularitas pemerintah di mata masyarakat. Kita ini negara dengan bantuan sosial yang besar, namun Bansos ini tidak mensejahterakan masyarakat,” beber Didik J Rachbini.
Didik J Rachbini mengatakan bahwa ketimpangan ekonomi terjadi karena adanya oligarki atau sentralisasi ekonomi. Oleh karena itu Indonesia butuh demokratisasi ekonomi yang jujur diterapkan.
”Demokrasi mesti di iringi dengan desentralisasi. Kalau Demokrasi tidak ada desentralisasi yang ada adalah Oligarkhi. Bansos sifatnya sementara dan tidak menyelesaikan masalah secara jangka panjang. Perlu diberikan anggaran pendidikan untuk pesantren pesantren yang lebih merata. Harus direform juga pendidikan di tengah masyarakat jenjang pendidikan nya karena semakin ke atas semakin kecil yang masuk dari SD ke SMP, dari SMP ke SMA," pungkas Didik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq