Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Karena Di Bahari Juga Dibutuhkan Sinergi Dan Integrasi

        Karena Di Bahari Juga Dibutuhkan Sinergi Dan Integrasi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid. (Semua orang jenius. Tapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya dia akan percaya bahwa dia adalah bodoh)"

        Kutipan di atas demikian marak beredar di masyarakat. Konon, kalimat bijak itu merupakan petikan dari pernyataan ilmuwan terkenal asal Jerman, Albert Einstein, yang menyoroti tentang salah-kaprah yang kerap terjadi di masyarakat dalam menilai kemampuan seseorang. Sebagian pihak memang kemudian meragukan kutipan itu pernah benar-benar terucap dari mulut Einstein. Pasalnya, qoutes ikonik itu tidak ditemukan dalam jurnal ‘The Ultimate Quotable Einstein’ milik Universitas Princeton, New Jersey, Amerika Serikat, yang selama ini dianggap sebagai rujukan paling sahih atas karya-karya Sang Ilmuwan.

        Pun, meski validitas sumbernya diragukan, pada dasarnya tidak ada satu pun yang menyangkal esensi dari quotes tersebut tentang kesesuaian antara tolok ukur penilaian dengan fakta dari obyek yang dinilai. Kesesuaian ini pula yang sepertinya coba digagas oleh Presiden Joko Widodo, saat memulai masa kepemimpinannya pada tahun 2014 lalu. “Dua per tiga dari wilayah kita adalah laut. Nenek moyang kita juga adalah pelaut. Dulu mereka bisa berjaya karena berhasil memanfaatkan laut, mengambil kearifan hidup dari budaya laut. Karena itu, sudah seharusnya kita melihat laut sebagai peluang, bukan hambatan. Laut harus menjadi sumber kejayaan dan kemajuan Indonesia,” ujar Presiden, dalam sebuah pernyataan resminya, pada awal periode Kabinet Kerja 2014-2019, silam.

        Nada introspektif terpancar jelas dari pernyataan Presiden di atas, bahwa tak seharusnya posisi Indonesia sebagai negara kelautan menjadi hambatan bagi negara ini untuk berkembang. Pasalnya, sudah demikian lama keberadaan laut justru seolah jadi ‘biang kerok’ yang mengisolasi wilayah-wilayah Indonesia menjadi ribuan pulau yang tidak saling terkoneksi. Rapat Tindak Lanjut Koordinasi Data Pulau yang dipimpin oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 23 Agustus 2021 lalu telah menyatakan bahwa jumlah pulau yang ada di seluruh wilayah Indonesia mencapai 17.508 pulau. Sementara panjang garis pantai Indonesia diketahui mencapai 95.181 km, sekaligus tercatat sebagai garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yang memiliki garis pantai hingga 99.093 kilometer.

        Tol Laut

        Guna menghubungkan aset kepulauan sebanyak dan seluas itu, tentu keberadaan pelabuhan menjadi andalan. Memang ada juga bandar udara (bandara) yang bisa dijadikan opsi. Namun tak semua pulau atau wilayah bisa dan mampu memiliki bandara sendiri. Luasan wilayah yang terlalu kecil, misalnya, atau juga tingkat keekonomian yang kurang mendukung, menjadi batasan bagi bandara untuk diperbanyak jumlahnya. Namun bukan berarti kinerja pelabuhan tidak memiliki kendala.

        Permasalahan efisiensi dan efektivitas menjadi masalah ‘laten’ dalam pengelolaan pelabuhan. Sebut saja persoalan dwelling time (waktu proses sejak peti kemas turun dari kapal hingga keluar dari terminal pelabuhan) dan waiting time (waktu tunggu kapal saat bersandar di dermaga untuk proses bongkar-muat barang) yang terlalu lama hingga masalah demurrage (batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan) secara umum bermuara pada betapa tidak efektif dan efisiennya aktivitas yang ada di pelabuhan.

        Guna menjawab permasalahan tersebut, Presiden Jokowi pun menyusun program prioritas yang disebutnya Konsep Tol Laut. Sebuah upaya ‘menjahit’ operasional seluruh pelabuhan yang ada di Indonesia dalam satu konsep yang terintegrasi. “Tol laut terbagi dalam enam trayek jalur pelayaran yang bebas hambatan, yang menghubungkan seluruh pelabuhan yang ada, yang mengkoneksikan antar pulau di Indonesia,” tutur Jokowi. Dengan rangkaian sistem kepelabuhanan yang terkoneksi dalam satu sistem bersama, diharapkan dapat mengurai berbagai masalah klise di lapangan, seperti kelangkaan pasokan barang dan harga kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda di tiap wilayah. Dengan jejaring pelabuhan yang telah saling terkoneksi, sistem logistik dan jalur distribusi barang dari dan ke setiap wilayah di Indonesia diharapkan dapat semakin lancar. Disparitas harga lebih bisa diminimalisasi. Pertumbuhan perekonomian juga dapat semakin merata.


        Satu Pelindo

        Terbaru, pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga telah mengambil kebijakan untuk melebur keempat perusahaan BUMN yang selama ini bertugas sebagai operator pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Keempat perusahaan itu, yaitu PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, PT Pelindo II, PT Pelindo III dan PT Pelindo IV, akan dilebur ke dalam satu entitas bernama Pelindo. “(Penggabungan) Ini dilakukan dalam rangka mewujudkan industri kepelabuhanan nasional yang lebih kuat, dan meningkatkan konektivitas maritim di seluruh wilayah di Indonesia, serta meningkatkan kinerja dan daya saing BUMN di bidang kepelabuhanan,” ujar Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, dalam keterangan resminya, awal September 2021 lalu.

        Menurut Tiko, penggabungan keempat BUMN kepelabuhanan ini juga masih tak lepas dari program besar Presiden Jokowi dalam menata sekaligus memperkuat sektor maritim dan industri bahari yang selama ini dianggap telah jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Tiko menyebut bahwa opsi merger dipilih lantaran dianggap paling sesuai untuk dapat mengkonsolidasikan seluruh layanan kepelabuhanan di Indonesia, sekaligus memaksimalkan sinergi dan penciptaan nilai tambah. “Banyak sekali manfaat dari terintegrasinya Pelindo dalam satu entitas bisnis, baik itu manfaat bagi perusahaan maupun juga bagi perekonomian nasional. Salah satunya, bahwa lewat penggabungan ini Pelindo akan menjadi operator terminal peti kemas terbesar ke-8 di dunia, dengan total throughput mencapai 16,7 juta TEU’s,” ungkap Tiko.

        Kesempatan untuk semakin go global tersebut dibenarkan oleh Direktur Utama Pelindo II, Arif Suhartono. Dengan telah bergabung dalam satu ‘wadah’ bersama, menurut Arif, pengelolaan kinerja di lapangan tidak akan lagi berdasarkan wilayah seperti yang dilakukan selama ini, melainkan lebih pada pendekatan lini bisnis dan segala potensi opportunity yang ada di pasar. “Dengan begitu Pelindo bisa lebih fokus, karena memiliki kontrol dan kendali strategis yang lebih baik. Perencanaan pengembangan jadi bisa lebih holistik untuk jaringan pelabuhan, yang akan bermuara pada penurunan atau efisiensi biaya logistik,” ujar Arif, dalam acara Sosialisasi Penggabungan PT Pelindo I, II, III dan IV Menjadi Satu Pelindo, yang diselenggarakan secara virtual, Senin (20/9).

        Multi Manfaat

        Tak hanya melulu soal kepentingan perseroan, Arif juga menyatakan bahwa penggabungan Pelindo ini juga pada akhirnya berimbas pada manfaat lebih besar yang bakal dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Satu hal yang pasti tentunya adalah efisiensi barang yang diangkut melewati pelabuhan, yang itu artinya berimbas pada semakin murahnya biaya logistik bagi setiap barang kebutuhan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sederhananya, harga barang secara keseluruhan bakal lebih murah. “Karena biaya logistik lebih efisien maka tentu harga barang di end user akan lebih murah. Dan tak hanya itu, secara kenegaraan, (penggabungan) ini juga akan meningkatkan pendapatan negara. Foreign Direct Investment di bisnis peti kemas juga akan meningkat,” tegas Arif, yang oleh pemerintah juga ditunjuk sebagai Ketua Organizing Committee (OC) dalam proses penggabungan empat entitas Pelindo ini.

        Tak ketinggalan, dukungan penggabungan empat perusahaan operator pelabuhan ini juga datang dari kalangan legislatif. Anggota Komisi VI DPR RI, Ahmad Baidowi, misalnya, melihat bahwa momen penggabungan ini sudah sangat tepat untuk memantabkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia. Sebagai kekuatan di bidang maritim, Indonesia sudah sepantasnya memiliki sistem pengelolaan industri kepelabuhanan yang memadai dan bahkan dapat bersaing dengan negara-negara lain, yang notabene tidak memiliki sebesar Indonesia namun dapat mengelola jaringan pelabuhannya dengan lebih maksimal dan modern. “Dengan penggabungan Pelindo Saya yakin akan mampu menghadirkan layanan yang terintegrasi dan terstandarisasi di seluruh jaringan pelabuhan yang tersebar di wilayah Indonesia. Dengan begitu, maka layanan dan pengelolaan pelabuhan kita bisa bersaing dengan negara-negara tetangga, seperti singapura dan malaysia,” ujar Baidowi.

        Dengan beragam gambaran yang telah dipaparkan, cukup pantas bila harapan masyarakat kembali terkembang bahwa tak lama lagi Indonesia bakal mampu menunjukkan tajinya sebagai sebuah negara maritim yang besar dan layak diperhitungkan. Kembali meminjam kutipan Einstein yang kontroversial di atas, sudah bukan saatnya lagi menakar dan bahkan mempersiapkan pembangunan Indonesia yang notabene merupakan negara maritim, namun lewat berbagai program yang justru berhaluan kontinental (negara daratan). Sudah bukan saatnya lagi menjadi bodoh (stupid) dengan menakar kemampuan seekor ikan (judge a fish) dari kemampuannya memanjat pohon (ability to climb a tree), yang tentunya akan menjadi sia-sia. Kini, sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk mulai menyadari pentingnya bersama-sama membangun kejayaan Indonesia sesuai dengan karakternya sebagai negara maritim. Karena masa depan Indonesia sudah semestinya ada di bahari, dan karenanya maka di bahari juga dibutuhkan sinergi dan integrasi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Taufan Sukma
        Editor: Taufan Sukma

        Bagikan Artikel: