Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Service Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengungkapkan, agar PLTU dapat dipensiun lebih awal, setidaknya diperlukan sejumlah data dan analisis untuk setiap unit PLTU yang ada di Indonesia yang mencakup usia operasional.
"Dengan begitu, PLTU dengan efisiensi yang rendah secara biaya lebih tinggi dan menghasilkan emisi lebih tinggi. Ini perlu dilihat dan dibandingkan dari masing-masing PLTU," ujarnya di Sesi Ketiga dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2021, Rabu (22/9/2021).
Baca Juga: Sadar Potensi Kendaraan Listrik, PLN Siapkan SPKLU di 33 Lokasi Tersebar di Seluruh Indonesia
Deon mengatakan, perlunya membandingkan biaya operasional dan perawatan PLTU dengan biaya mempensiunkan PLTU. Cara tersebut perlu dilakukan karena terdapat biaya yang ditimbulkan dari pengembalian lahan bekas PLTU seperti semua.
Selain itu, kesiapan perencanaan sistem ketenagalistrikan di Indonesia masih terbagi di masing-masing pulau. Hal tersebut mengakibatkan dari aspek reliabilitasnya menjadi tantangan karena ketika PLTU mulai dipensiunkan diperlukan alternatif lain untuk menggantikan proses pembangkitan listrik.
"Pada dasarnya ada banyak yang bisa dilakukan seperti refinancing yang bisa diinvestasikan ulang ke EBT," ujarnya.
Hal tersebut dapat disiasati denga proses repurposing dengan kelebihan menggunakan lahan yang sama atau sebagian aset yang sama. Dengan begitu, biaya investasi dapat ditekan dengan tidak sepenuhinya menyia-nyiakan aset yang dipensiunkan.
Selain itu, lanjut Deon, cara retrofitting juga dapat dijadikan alternatif yakni dengan mengakomodasi EBT yang dianggap emiten dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem kelistrikan yang ada di PLTU selama proses transisi terjadi.
"Rertorfitting ini akan membantu solusi ekonomi EBT bisa menjadi terlihat dan untuk mengintegrasikannya, ada tantangan dari segi fleksibilitas jaringan power sistem. Kalau ada aset yang pertimbangannya biaya dari aset lain, ini bisa dipertimbangkan melakukan retrofitting untuk membantu mitigasi karbon lebih tinggi," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Puri Mei Setyaningrum