Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memastikan subsidi energi untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) akan dibedakan dengan subsidi untuk energi berbahan bakar fosil.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, mengatakan langkah ini ditempuh karena harga jual listrik EBT relatif tinggi, sementara pemanfaatannya ditargetkan meningkat guna mendukung pencapaian netralitas karbon pada 2060 atau lebih cepat.
“Nah untuk subsidi listrik, ini kan sudah dialokasikan dalam satu tahun. Jadi berapa subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah, kita akan menetapkan alokasi saja ini ya. Jadi alokasi dari total alokasi subsidi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” ucap Yuliot di Hotel Kempinski Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Baca Juga: IESR Soroti Lambatnya Investasi Swasta dalam Pengembangan EBT Tanah Air
Sebagaimana diketahui, pemerintah bersama PLN telah meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 dengan tambahan kapasitas 69,5 gigawatt (GW), di mana 76 persen di antaranya berbasis EBT.
Namun, harga jual listrik EBT masih jauh lebih tinggi dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Untuk PLTU harga jualnya sekitar 5 sen dolar AS per kWh, sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) mencapai 20 sen, dan PLTS plus baterai (melansir Direktur Teknologi, Engineering dan Keberlanjutan PLN) berkisar 25 sen.
“Jadi berapa (subsidi) untuk PLTSA, berapa untuk energi baru terbarukan (tersendiri), ya karena kan harganya tidak sama untuk setiap pembangkit,” ungkapnya.
Baca Juga: Perpres Sampah Hampir Rampung, Kementerian ESDM: Danantara Bakal Ikut Kelola PLTSa
Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini tengah sibuk memecahkan persoalan timbulan sampah yang terjadi di perkotaan. Opsinya, sampah ini akan dikelola dalam peta jalan waste to energy yang salah satunya dijadikan listrik lewat PLTSA.
Ia menjabarkan bahwa Kota Jakarta menghasilkan sampah 8 juta ton per hari, Kota Bekasi sekitar 2,8 juta ton per hari, dan Kabupaten Bekasi sekitar 2,3 juta ton per hari.
Menurut Yuliot, selama ini sampah tersebut baru 60 persen terkelola dan sisanya ada yang dibuang ke sungai. “Terjadi mampat di saluran-saluran, itu menyebabkan tersumbatnya sungai, itu menyebabkan banjir. Kalau sampai ke laut itu menjadikan suatu pencemaran ke wilayah perairan laut. Jadi ini kita melihat bagaimana sampah ini bisa dilakukan pengolahan,” jelasnya.
“Timbulan sampah secara nasional itu totalnya ada 33,8 juta ton per tahun, sementara yang terkelola itu hanya sekitar 60 persen. Empat puluh persen ini tidak terkelola. Jadi bagi masyarakat karena tidak terkelola, ada yang dibuang ke sungai. Ya, kemudian kalau dibuang ke sungai ini," tambahnya.
Baca Juga: ESDM Kasih Sinyal, Danantara Bakal Jadi Penguasa Proyek PLTSa
Ia melanjutkan bahwa pemerintah menargetkan peraturan mengenai waste to energy rampung pada bulan September dan selanjutnya ditetapkan seluruh produksi listrik akan diserap oleh PLN.
“Kita targetnya bulan September ini sudah bisa selesai. Jadi nanti harga jual ke PLN itu sudah termasuk tipping fee-nya sekitar 20 sen dolar per kilowatt hour,” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement