Di balik gemerlap nikel sebagai mineral masa depan, ternyata menyimpan persoalan dalam tata niaga. Penambang nikel mengklaim, mereka banyak dirugikan soal penghitungan kadar nikel oleh pengusaha smelter.
Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa ada ketidakadilan terhadap pengusaha lokal pembagian uji kadar logam nikel. Pasalnya, ada 11 surveyor di pertambangan nikel, 10 surveyor di sisi hulu tetapi hanya satu surveyor di sisi smelter, pabrik peleburan nikel.
Di sisi lain, pengusaha nasional dibebani berbagai kewajiban tetapi kewajiban yang sama tidak berlaku bagi pengusaha asing.
Ketidak adilan itu tampak jelas ketika para pengusaha pemegang izin usaha pertambangan nikel wajib me,nggunakan surveyor yang ditunjuk pemerintah, sementara pihak smelter yang merupakan investasi asing, boleh menunjuk surveyor sendiri.
Dari sinilah ketimpangan muncul. Menurut Meidy muncul banyak masalah soal perbedaan hasil uji kadar logam nikel antara yang dilakukan surveyor yang ditunjuk pemerintah dengan yang ditunjuk pembeli.
Hasil analisis kandungan nikel oleh surveyor pembeli, seringkali jauh di bawah hasil analisis surveyor penambang.
Meidy menggambarkan, penurunannya bisa jauh, dari 1,8% bisa menjadi 1,5% bahkan 1,3%. Akibatnya, pengusaha mengalami kerugian karena kandungan nikel sangat berpengaruh pada harga. Semakin tinggi persentase kandungan, semakin mahal harga nikel.
"Kalau kita berbicara kadar, memang terjadi karena data kita sampai bulan ini 5000 kontrak, biji nikel, dari 5 ribu, terjadi selisih yang luar biasa, kita wajib mematuhi HPM (harga patokan mineral) dan PPN (pajak pertambahan nilai) setengah persen sebelum tongkang jalan," kata Meidy ketika dihubungi wartawan, Rabu (22/9/2021).
Memang, kata Meidy, setiap surveyor memiliki kadar yang berbeda. Tetepi setidaknya, atauran pemerintah, yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara harus dijalankan.
"Karena dengan aturan ini, maka jelas. Istilahnya pengusaha untung dan negara untung," kata dia.
Tetapi demikian, kata dia, pihaknya masih mendapati, pengusaha smelter ada yang disana tak mematuhi HPM, saat membeli nickel ore atau bijih nikel.
APNI memprotes pihak smelter karena belum membeli ore dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan regulasi dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
Karena pengusaha smelter membeli nikel kepada penambang di bawah HPM. Karena itu dia gerah karena ada yang masih mengabaikan regulasi dari pemerintah.
Penambang nikel menyayangkan sikap pihak smelter selaku pembeli karena harga nikel tidak sesuai arahan pemerintah, yaitu berdasarkan Free on Board (FoB) atau harga dibeli di atas kapal tongkang, sehingga biaya asuransi dan angkutan ditanggung pembeli.
"Kita rugi dong. Ada 11 surveyor itu dipakai hanya satu surveyor. Memang itu bicaranya bicara busines to busines (B to B), itu suka-suka dia, tapi ada permasalahan ada tongkang ribuan ni, gak mungkin 60 juta ton nikel disuplai sendiri, setidaknya harus bagi-bagi, seperti kuota gitu," kata dia.
Nah perusahaan yang tidak kebagian jatah, kata dia, secara otomatis terbebani dengan harga nikel yang diberlakukan smelter saat ini adalah sistem CIF (Cost Insurance and Freight) yaitu biaya angkutan dan asuransi dibebankan kepada penjual.
Seharusnya sesuai regulasi pemerintah, pembeli atau smelter membeli dengan sistem FoB, yaitu menanggung seluruh biaya angkutan dan asuransi yaitu sekitar US$ 4 per ton.
Karenanya, dia meminta pemerintah bisa mengintervensi masalah ini. Karena, kebijakan ini akan mempengaruhi setiap pengusaha.
"Industri di hilir gak bisa berjalan kalau dihulunya saja dibuat seperti ini," kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: