Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meminta pemerintah tegas terkait dengan perbedaan hasil survei yang dilakukan oleh surveyor. Karena hal ini menyangkut kepentingan banyak pihak yang tergantung dari hasil inspeksi surveyor.
"Mulai dari penjual, pembeli maupun pemerintah juga. Jadi kepresisian dan aktual data yang dilakukan oleh inspektor atur surveyor adalah hak yang mutlak," kata Mamit ketika dihubungi wartawan, Kamis (30/9/2021).
Perselisihan perbedaan kandungan nikel oleh surveyor seharusnya tidak berlarut-larut, dan kejadiannya pun sudah berlangsung sejak tahun lalu. Pemerintah pun sudah tepat dengan menurunkan satuan tugas untuk menelusuri masalah ini.
Seperti diketahui, perbedaan sikap antara penambang dengan pemilik pabrik pemurnian (smelter) soal harga patokan mineral alias HPM nikel saat ini belum tuntas. Penambang kini menemui persoalan baru terkait kinerja penyurvei atau surveyor.
Sebagai pengetahuan, tidak semua semua pemegang SIUJS (Surat Ijin Usaha Jasa Survei) yang ditetapkan Kementerian Perdagangan boleh memverifikasi nikel.
Menurut Mamit, apabila ada indikasi ketidakprofesionalan surveyor, pemerintah harus tegas menerapkan sanksi. Termasuk memasukkan ke dalam daftar hitam karena merugikan banyak pihak.
"Dampak buruk lainnya, adalah ketidakpercayaan international terhadap hasil inspeksi lokal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya biaya tambahan," kata Mamit.
Sebagai pembanding, para pengusaha sebaiknya menyediakan surveyor lain di luar daftar pemerintah. Sehingga bisa saling mengoreksi satu sama lain. Pemerintah juga perlu mengevaluasi surveyor yang telah ditunjuk.
Pembentukan Satgas HPM Nikel, menurut Mamit sudah tepat. Tinggal bagaimana kinerja dan pengawasan mereka lebih ditingkatkan kembali. Kata dia, Satgas HPM ini harus berani terjun ke lapangan untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Perbedaan antara sampel di titik bongkar dengan muat bisa disebabkan karena faktor cuaca, suhu, hujan dan faktor alam yang lain. Tapi, biasanya sudah ada batasan yang diterima karena faktor tersebut dan semua pihak harus sudah memahami," ucap Mamit.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menegaskan, perbedaan analisis di pelabuhan muat dan bongkar seharusnya tidak menjadi masalah antara penambang dan pembeli.
Karena dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 telah dipertegas kalau ada perselisihan maka sampelnya dapat diuji oleh surveyor independen yang disepakati para pihak. Sampel itu pun akan tersimpan dalam waktu tertentu untuk mengantisipasi dispute di kemudian hari.
Dengan dasar ini maka harus ada perbaikan dalam proses analisisnya. Para pihak yang berkepentingan seharusnya dapat menyaksikan langsung pengambilan sampel sampai analisis laboratorium.
Berikutnya, persoalan hasil laboratorium harus sama persis di titik muat dan bongkar justru tidak masuk akal. Dalam proses pengangkutan, barang tambang kerap berubah kualitas dan kuantitasnya, terutama karena faktor cuaca.
Sebagai catatan, dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 sebenarnya sudah tertulis soal bila terjadi perbedaan hasil verifikasi oleh surveyor dari penambang maupun smelter, maka penentuan kualitas mineral logam harus mengacu hasil pengujian pihak ketiga yang disepakati bersama sebagai wasit.
Kedua pihak dapat menunjuk surveyor independen yang berbeda dan tidak terafiliasi untuk mengecek sampel nikel.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: