Gugatan Yusril ke Demokrat Dikritik Rekan Sejawat: Kekacauan Hukum Hingga Melanggar Hukum
Pakar hukum tata negara dari berbagai kampus di seluruh Indonesia mengkritik langkah advokat Yusril Ihza Mahendra yang menggugat AD/ART Partai Demokrat melalui Judicial Review pada Mahkamah Agung (MA).
Langkah hukum Yusril tersebut dinilai sebagai manipulasi intelektual yang berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.
Baca Juga: Jimly Asshiddiqie Respons Enteng Sindiran Yusril Ihza Mahendra
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai, AD/ART parpol tidak bisa dibawa ke MA.
Yang bisa dibawa ke MA adalah peraturan perundang-undangan. Sedangkan AD/ART, katanya, bukan peraturan perundang-undangan. "Bagaimana bisa digugat di MA?" ujarnya, Rabu (6/10).
secara ketatanegaraan, lanjut Zainal, mustahil untuk menyamakan AD/ART dengan peraturan perundang-undangan, yang dibuat lembaga negara.
"Bagaimana mungkin partai itu dianggap sebagai lembaga negara? AD/ART itu konstitusi bagi partai, internal partai," tuturnya.
Terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari juga menegaskan MA tidak berwenang menguji AD/ART parpol karena sifatnya keputusan yang tidak berada di bawah undang-undang.
"Sesuai teori, AD/ART adalah aturan yang sifatnya hanya mengikat untuk kader parpol yang bersangkutan," bebernya.
Tokoh sentral parpol, lanjut Feri, juga tidak hanya ada di Partai Demokrat saja. Yapi juga di partai-partai lainnya. Termasuk Yusril, yang saat ini masih menjabat Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Selain itu, ditambahkannya, pihak yang berhak melayangkan gugatan adalah kader dari partai yang bersangkutan. Sementara, empat orang yang mengajukan gugatan judicial review ke MA sudah tidak lagi berstatus kader Partai Demokrat.
Mereka sudah dipecat Ketua Umum partai bintang Mercy, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) karena hadir dalam KLB di Deli Serdang.
"Bayangkan semua warga negara bakal bisa menguji AD/ART parpol mana pun. Stabilitas parpol akan terganggu," tegas Feri.
Potensi anarkisme hukum ini juga menjadi perhatian dosen hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Luthfi Yazid.
"Jika MA sampai mengabulkan JR terhadap ART Partai Demokrat maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART Partai Politik atau organisasinya sehingga menafikan kepastian hukum," papar Dr. Luthfi Yazid yang juga Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Diingatkannya, AD/ART bersifat kesepakatan internal parpol. Sedangkan yang dapat diajukan Judicial Review adalah regulasi yang dibuat otoritas resmi untuk kepentingan umum.
Luthfi menjelaskan setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah objek JR di MA. Ketiganya yakni eksistensi norma, relasi, dan implikasinya.
"Yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra bukanlah terobosan hukum, melainkan logical fallacy. Apakah ini juga patut diduga sebagai intellectual manipulation?" tanya dia.
Menanggapi alasan inovasi hukum yang diajukan penggugat, dosen Hukum Tata Negara Universitas Trisakti M. Imam Nasef menegaskan, pengajuan AD ART parpol dengan skema uji materi ke MA bukanlah legal breakthrough. Tetapi, breaking the law.
"Mengapa demikian? Karena sesungguhnya sudah ditentukan skema dan jalurnya oleh UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) melalui skema perselisihan partai politik," tuturnya.
Sementara dari Makassar, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Aminuddin Ilmar mengingatkan pengesahan pendirian parpol.
Termasuk di dalamnya AD/ART, yang telah melalui proses penelitian dan/atau verifikasi oleh Kemenkumham untuk disahkan sebagai badan hukum.
Kalaupun ada peraturan dan keputusan yang dibuat parpol yang tidak sesuai dengan AD/ART parpol, apakah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka tentu saja peraturan atau keputusan partai politik itulah yang haruslah diuji, apakah absah atau tidak.
"Jadi bukan Anggaran Dasarnya yang harus digugat tetapi peraturan atau keputusan dari partai politik tersebut yang bertentangan," terang papar Aminuddin.
Berdasarkan teori dan ilmu perundang-undangan, dosen ilmu perundang-undangan Universitas Brawijaya Malang Aan Eko Widiarto juga menyimpulkan, Judicial Review tidak bisa dilakukan terhadap AD/ART Partai Demokrat karena tidak termasuk dalam pengertian perundang-undangan.
Dampak dari upaya JR terhadap AD/ART Partai Demokrat ini, dinilai berbahaya. "Dengan menggolongkan AD ART sebagai peraturan perundang-undangan maka hanya akan memunculkan dampak Negara turut campur terhadap otonomi parpol dan negara menjadikan parpol sebagai bagian dari negara (supra struktur politik) bukan lagi sebagai bagian dari rakyat (infrastruktur politik)," ingat Aan Widiarto, yang juga Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq