Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengadu nasib dengan mengajukan gugatan soal ambang batas pencapresan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Harapannya, MK bisa menghapus syarat nyapres sebesar 20 persen menjadi 0 persen. Namun melihat kembali sejarah putusan MK soal perkara yang sama, sepertinya upaya Gatot terancam “gatot” alias gagal total.
Belakangan ini, wacana capres 0 persen memang mulai rame lagi. Berbagai elite politik hingga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen (Purn) Firli Bahuri mendukung, bila di Pilpres 2024 nanti, tidak ada lagi syarat nyapres alias capres 0 persen.
Baca Juga: Nahloh... Gatot Nurmantyo Datangi Mahkamah Konstitusi untuk...
Bahkan, sejumlah orang sudah mengajukan judicial review terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Di pasal tersebut, mengatur soal syarat bagi parpol atau gabungan parpol bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden harus mengantongi 20 persen kursi legislatif atau 25 persen suara sah secara nasional.
Terakhir yang ikut mengajukan gugatan ke MK adalah Gatot Nurmantyo. Untuk memuluskan gugatannya, Gatot menggandeng Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun sebagai kuasa hukum. Gatot optimis, gugatannya kali ini bakal berhasil. Menurut Gatot, pasal mengenai ambang batas nyapres bertentangan dengan UUD 1945.
“Tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” bunyi petitum yang dilayangkan Gatot, seperti dikutip dari laman resmi MKRI di kolom pengajuan permohonan pada Senin (13/12) lalu.
Ketentuan presidential threshold (PT) juga mempersempit hak pemilih mendapatkan calon-calon alternatif terbaik. Seperti yang terjadi di Pemilihan Presiden 2019 lalu. Bahkan, lanjutnya, Pilpres 2019 memicu terbentuknya polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa.
“Seharusnya ini sudah menjadi alasan yang kuat bagi hakim untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi,” ujarnya.
Selain itu, Gatot turut mengutip pendapat ekonom senior Rizal Ramli yang menyatakan, ketentuan PT telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Dia mengkisahkan kandidasi yang pernah dialami RR, sapaan Rizal Ramli, pada 2009 silam. Rizal Ramli pernah ditawari oleh salah satu parpol untuk berkontestasi, tapi harus membayar sebesar Rp 1 triliun.
Dia lantas menyebut, seharusnya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy.
Pasalnya, UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Sementara, berdasarkan preseden putusan hakim, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat; (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam UU.
"Ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden,” tutur mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu.
Baca Juga: Faizal Assegaf Skakmat Menko Luhut: Anda Norak dan Kampungan
Sementara itu, Refly menilai, PT cuma menjadi tiket oligarki untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah. Itu, sudah lama dia sadari. Karenanya, sebanyak 13 kali Refly mengajukan uji materi mengenai PT ke MK. Namun sayangnya tidak pernah dikabulkan.
Dia menduga gugatannya selalu ditolak bukan karena minim argumentasi konstitusional. Tapi cengkraman dan kekuatan oligarki terlalu kuat.
“Sampai ke relung kekuasaan yudikatif, saya bicara apa adanya, karena bagi oligarki presidential threshold itu adalah tiket untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah,” ucap Refly.
Gatot bukan orang pertama yang menggugat PT. Dalam waktu sepekan, aturan pencapresan ini telah empat kali digugat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Adrial Akbar
Tag Terkait: