Kredit Foto: Istimewa
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 menyatakan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah menyatakan UU Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan, adanya kewajiban pekerja menjadi peserta Tapera agar dapat mencapai tujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang sebagaimana tujuan Pasal 2 UU 4/2016, maka hal ini menimbulkan kontradiksi dengan kemudahan yang dimaksudkan dalam UU 1/2011. Terlebih peserta Tapera termasuk di dalamnya pekerja dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Padahal tanpa wajib menjadi peserta, setiap pekerja juga sudah dapat mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema,” kata Saldi.
Mahkamah menilai keberadaan Tapera sebagai kewajiban apalagi disertai dengan sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih (overlapping), tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada.
Sebab, Tapera bukan satu-satunya instrumen, seperti halnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki akses langsung terhadap skema perumahan resmi yang dijalankan PT Taspen Properti Indonesia (Taspro), sedangkan bagi prajurit TNI dan anggota Polri serta ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Polri juga dapat mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) atau Pinjaman Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (PUM KPR) Asabri.
Di luar program tersebut, masyarakat juga memiliki opsi pembiayaan perumahan melalui berbagai skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan bank di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum mengatakan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma dalam UU 4/2016 karena esensinya untuk pengerahan dana dengan cara pemupukan dana dari peserta, dalam hal ini pekerja.
Namun, jika kata ‘wajib’ dalam norma itu diubah menjadi kata ‘dapat’ sebagaimana petitum Pemohon, maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya.
Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016.
Tapera dibentuk dengan konsep ‘tabungan’ tetapi hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun.
Skema demikian secara inheren tidak mampu memenuhi tujuan utama yaitu memberikan akses kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Karena itu, pembentuk undang-undang harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep perumahan yang salah satunya adalah central public housing agar dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan lahan perkotaan dan memberikan hunian bagi MBR sebagai bagian dari sistem nasional penyediaan hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan.
"Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” tutur Enny.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement