Suu Kyi Masuk Penjara, Jaksa Agung dan Ketua MA Dihajar Amerika
Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi terhadap lebih banyak pejabat di Myanmar, satu tahun sejak militer Myanmar merebut kekuasaan dan menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan.
Aksi bersama oleh tiga negara tersebut, yang sebelumnya juga telah menjatuhkan sanksi kepada Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing dan para anggota junta lainnya, menargetkan pejabat pengadilan yang terlibat dalam penuntutan terhadap pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi.
Baca Juga: Setahun Kudeta Myanmar, Indonesia Desak Junta Militer Terapkan Konsensus ASEAN
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Senin (31/1/2022) mengatakan tindakan terkoordinasi itu menunjukkan dukungan internasional untuk rakyat Myanmar dan akan "lebih meningkatkan akuntabilitas atas kudeta dan kekerasan yang dilakukan oleh rezim."
Ia merujuk pada hampir 1.500 orang yang tewas dan 10.000 orang ditahan oleh militer yang berusaha untuk memegang kendali di Myanmar. Departemen Keuangan AS menambahkan total tujuh individu dan dua entitas ke daftar sanksi pada Senin.
Mereka termasuk jaksa agung junta, Thida Oo, yang kantornya dikatakan telah membuat tuduhan bermotif politik terhadap Suu Kyi. Suu Kyi diadili atas lebih dari selusin kasus. Sejauh ini, dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara atas sejumlah tuduhan. Ia menyangkal semua tuduhan yang dikenakan padanya.
Departemen Keuangan AS juga mendaftarkan ketua Mahkamah Agung Myanmar dan ketua Komisi Anti-Korupsi, yang dikatakan juga terlibat dalam penuntutan terhadap Suu Kyi dan para pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Berdasarkan tindakan itu, AS membekukan semua aset milik pihak-pihak yang berada dalam hitam itu. Selain itu, warga Amerika dilarang untuk berurusan dengan pihak-pihak tersebut.
"Selama rezim terus menyangkal suara demokrasi rakyat Burma, kami akan terus membebankan biaya pada militer dan pendukungnya," kata Presiden AS Joe Biden dalam sebuah pernyataan, Senin, saat mengutuk penguasa militer Myanmar.
Washington juga menjatuhkan sanksi pada sebuah direktorat pengadaan tentara Myanmar yang disebut membeli senjata dari luar negeri, pedagang senjata, Tay Za, dan dua putranya yang sudah dewasa, serta KT Services & Logistics Company Ltd dan Chief Executive-nya Jonathan Myo Kyaw Thaung.
Perusahaan itu, yang menurut AS menyewa sebuah pelabuhan di Yangon dari perusahaan milik militer seharga tiga juta dolar per tahun (sekitar Rp43 miliar), adalah bagian dari KT Group --sebuah konglomerat yang telah melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan dari Singapura, Thailand, dan Filipina.
Kanada, sementara itu, mengumumkan akan menambahkan tiga pejabat peradilan yang sama ke daftar sanksinya. Inggris mengumumkan telah memasukkan jaksa agung dan ketua komisi korupsi serta ketua komisi pemilihan Myanmar yang ditunjuk junta ke daftar serupa.
Paul Donowitz, pemimpin kampanye di kelompok advokasi Global Witness, mengatakan pengumuman sanksi oleh AS, Inggris, dan Kanada menjadi pengingat bagi "komunitas bisnis Myanmar bahwa ada konsekuensi untuk memfasilitasi pembelian senjata dan kepentingan bisnis militer."
Namun, Donowitz berpendapat langkah-langkah itu gagal menargetkan pendapatan dari gas alam Myanmar, yang merupakan sumber mata uang asing terbesar bagi junta. Militer Myanmar telah menahan Suu Kyi dan anggota partai NLD sejak kudeta 1 Februari 2021.
Militer beralasan kudeta dilakukan karena ada kecurangan dalam pemilu November 2020, yang dimenangkan telak oleh NLD. Sementara, komisi pemilu mengatakan pemungutan suara telah mencerminkan keinginan rakyat Myanmar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto