Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Pemberitaan Terkini Konflik dengan Ukraina Ini, Tanggapan Dubes Rusia Di Jakarta

        Soal Pemberitaan Terkini Konflik dengan Ukraina Ini, Tanggapan Dubes Rusia Di Jakarta Kredit Foto: Reuters/Sergey Pivovarov
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Belakangan ini sering muncul publikasi yang menggiring opini bahwa “Rusia akan menyerang Ukraina”. Opini ini dimunculkan tanpa ada berita berimbang. Kecenderungan yang sering terlihat adalah, berita yang jarang mengutip sikap Pemerintah Moskow.

        Hal ini merupakan direspons Kedutaan Besar Rusia di Jakarta. "Atau jika ada potingan dari pihak Rusia, kutipan itu dalam bentuk terpotong," tulis Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva dalam keterangan resminya kepada RM.id pada Kamis (3/2/2022).

        Baca Juga: Uni Eropa Terang-terangan Sudah Siapkan Sanksi Berat untuk Rusia

        Dia menyebut, di sisi lain, pemberitaan justru memberi panggung pada politisi Barat atau sejumlah pakar dadakan. Dengan latar belakang ini, jelas Vorobieva, dia ingin menarik perhatian para pembaca, jika menengok sejarah, maka akan menjadi jelas bahwa Rusia adalah negara yang benar-benar memahami apa itu perang.

        Dia mengingatkan, Rusia mengalami kehilangan korban jiwa tak kurang dari 27 juta jiwa dalam Perang Dunia II. Mengingat banyaknya korban jiwa akibat perang di masa lalu itu, lanjut Vorobieva, Rusia sebagai salah satu pihak yang bersinggungan dengan isu Ukraina, justru paling tidak menginginkan terjadinya eskalasi ketegangan di kawasan.

        Terkait hal ini, bahkan secara khusus Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin menegaskan, bahwa konflik bersenjata sama sekali bukan pilihan Rusia. "Kami tidak menginginkan perkembangan situasi menjadi perang," harap Putin.

        Spekulasi tentang kemungkinan "serangan Rusia ke Ukraina" muncul pada akhir 2021. Sampai saat ini, isu itu menurut Vorobieva masih terus dipublikasikan. Bahkan, setiap kali publikasi muncul, disertai perkiraan tanggal yang baru.

        "Misalnya, serangan akan dilakukan pada Desember 2021, kemudian pada Januari 2022 dan sekarang disampaikan akan dilakukan saat Olimpiade Beijing mendatang," ujar ungkap Vorobieva.

        Semua hal ini, menurutnya menunjukkan satu hal: perang informasi yang sistematis sedang dilancarkan terhadap Rusia. Tujuannya, demi meyakinkan masyarakat dunia, bahwa Rusia adalah “agressor”, “bad guy” dan lainnya.

        Alasan serangan Russophobia atau ketakutan pada Rusia ini, beber Vorobieva, telah lama timbul. Karena tidak semua pihak Barat siap menerima tatanan dunia multipolar, yang memiliki tujuan menjadi lebih adil dan demokratis. Pihak Barat dia nilia seolah masih ingin, tatanan dunia didominasi satu atau sekelompok kecil negara saja.

        Sangat disesalkan, cetusnya, negara-negara di bawah pimpinan Amerika Serikat mencoba menentang perjalanan sejarah yang objektif, berusaha mempertahankan keuntungan eksklusif "penguasa dunia" dan mengabaikan kepentingan sah negara lain.

        Dengan latar belakang ini, Vorobieva mengingatkan, militerisasi Ukraina terus berlanjut. Pasokan berbagai jenis senjata dan peralatan militer ke Kiev, pelatihan personel oleh pakar NATO pun juga sedang dilakukan.

        Pada saat yang sama, negara-negara Aliansi NATO mengerahkan peralatannya ke perbatasan Rusia, meningkatkan aktivitas pengintaian dan mengasah taktik serangan.

        Yang menjadi perhatian khusus bagi pihak Rusia, ungkapnya lagi, adalah fakta, bahwa ekspansi NATO terus berlanjut. Hal ini secara objektif memaksa Rusia mengambil langkah untuk menjamin keamanan nasionalnya.

        Dalam konteks ini, pernyataan yang dibesar-besarkan tentang pengerahan tentara Rusia ke perbatasan, menurutnya, justru sungguh membingungkan. "Saya ingin menekankan, Rusia mengerahkan pasukan secara eksklusif di wilayahnya sendiri, yang merupakan hak kedaulatan negara mana pun," tegas Dubes Vorobieva.

        Dia menyayangkan, bahkan pergerakan pasukan militer Rusia pada peristiwa di Kiev pada 2014 pun malah selalu disebut sebagai upaya aneksasi. Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah Krimea yang dipersengketakan.

        Vorobieva pun menekankan kembali, penyatuan kembali (reunifikasi) Semenanjung dengan Rusia, menjadi mungkin karena merupakan ungkapan keinginan pribadi penduduknya. “Juga disampaikan melalui suara yang diberikan dalam referendum terbuka untuk kembali bergabung dengan Rusia," tegasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: