Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mengapa Belanda Minta Maaf Sedalam-dalamnya ke Bangsa Indonesia atas Kekerasan saat Penjajahan?

        Mengapa Belanda Minta Maaf Sedalam-dalamnya ke Bangsa Indonesia atas Kekerasan saat Penjajahan? Kredit Foto: Reuters/Kai Loyens
        Warta Ekonomi, Amsterdam -

        Perdana Menteri Belanda Mark Rutte telah meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kekerasan 'ekstrem' saat masa penjajahan. 

        Permintaan maaf dari Rutte itu datang usai munculnya sebuah penelitian soal aksi Belanda yang masih menjajah Indonesia bahkan ketika sudah merdeka. Disebutkan oleh studi itu, tentara Belanda menggunakan 'kekerasan sistematis dan ekstrem dalam upaya sia-sianya untuk mendapatkan kembali kendali atas bekas jajahannya pada akhir Perang Dunia Kedua'.

        Baca Juga: Di Masa Bersiap 1945-1949, Belanda Akui Lakukan Kekerasan Melampaui Batas atas Bangsa Indonesia

        Dilaporkan pula bahwa selama konflik tahun 1945-1949, pasukan Belanda telah membakar desa-desa, melakukan penahanan massal, penyiksaan, hingga eksekusi. Aksi ini pun acap kali dilancarkan dengan dukungan diam-diam dari pemerintah, kata kesimpulan studi itu, yang dilakukan oeh para peneliti Belanda dan Indonesia setelah penyelidikan selama 4,5 tahun. 

        Temuan itu menghancurkan garis resmi yang telah lama dipegang Belanda, yang sebelumnya menyebut bahwa hanya ada insiden kekerasan berlebihan yang terisolasi oleh pasukannya.

        "Kami harus menerima fakta yang memalukan ini. Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan ekstrem yang sistematis dan meluas oleh pihak Belanda pada tahun-tahun itu dan sikap yang terus-menerus diabaikan oleh kabinet-kabinet sebelumnya," kata Rutte selama konferensi pers Kamis (17/2), dikutip dari Al Jazeera hingga The Guardian.

        Rutte kemudian menjelaskan bahwa kesalahan yang telah terjadi bukan milik tentara individu tetapi ke sistem yang ada pada saat itu. Menurut Rutte, kekerasan yang terjadi masa zaman kolonial, adalah bentuk superioritas yang 'salah tempat'.

        "Budaya yang berlaku adalah budaya berpaling, melalaikan dan rasa superioritas kolonial yang salah tempat. Itu adalah realisasi yang menyakitkan, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya," ucapnya.

        Penelitian itu sendiri dimulai pada tahun 2017 dan didanai oleh Belanda sebagai bagian dari pengakuan masa lalu kolonialnya yang brutal di Indonesia.

        Hasil temuan sebelumnya telah dipresentasikan oleh para peneliti, dengan salah satu sejarawan yang terlibat, Dr Remy Limpach, menyebut bahwa perilaku Belanda saat itu justru merupakan  bentuk 'kelemahan mereka dalam menghadapi taktik gerilya'.

        "Seringkali itu muncul dari perasaan tidak berdaya, frustrasi, perasaan bahwa Anda telah memunggungi tembok. Mereka tidak mampu menangani konflik dengan cara militer biasa," kata Limpach menggambarkan masa-masa itu sebebagai 'pemerintahan teror'.

        Menambah itu, sejarawan lain, Ben Schoenmaker, mengucap bahwa tindakan Belanda bisa dikategorikan sebagai 'kejahatan perang', dan itu terbukti dilakukan secara sering dan meluas.

        "Kekerasan oleh militer Belanda, termasuk tindakan seperti penyiksaan, yang sekarang bisa dianggap sebagai kejahatan perang, dilakukan secara 'sering dan meluas'."

        "Para politisi yang bertanggung jawab menutup mata terhadap kekerasan ini, seperti halnya otoritas militer, sipil dan hukum. Mereka membantunya, mereka menyembunyikannya, dan mereka menghukumnya sedikit atau tidak sama sekali," ungkap Schoenmaker dari Institut Sejarah Militer Belanda. Ia adalah satu dari lebih dari dua lusin akademisi yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut. 

        Mengingat Masa Lalu

        Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945, tak lama setelah kekalahan Jepang yang menduduki negara itu selama Perang Dunia II. Tetapi Belanda ingin bertahan di bekas jajahannya, dan mengirim pasukan untuk menumpas para pemberontak kemerdekaan.

        Sekitar 100 ribu orang Indonesia kemudian tewas sebagai akibat langsung dari perang, dengan mundurnya Belanda pada tahun 1949. 

        Kejahatan Belanda tersebut termasuk penahanan massal, penyiksaan, pembakaran kampung (desa), eksekusi dan pembunuhan warga sipil, menurut Frank van Vree, seorang profesor sejarah perang di Universitas Amsterdam, selama presentasi penelitian tersebut, yang disiarkan secara online.

        Pengadilan Belanda telah memutuskan bahwa pemerintah yang berbasis di Den Haag harus memberikan kompensasi kepada janda dan anak-anak pejuang Indonesia yang dieksekusi oleh pasukan kolonial. Pengadilan juga menyebut bahwa statuta pembatasan tidak berlaku dalam kasus perjuangan kemerdekaan Indonesia.

        Raja Willem-Alexander sendiri pernah datang ke Indonesia pada Maret 2020, dan dalam kunjungannya itu, ia meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan Belanda.

        Studi, sementara itu, mencatat bahwa selama perang, pemerintah dan militer mendapat dukungan dari masyarakat yang setuju dan media yang tidak kritis, yang berakar pada 'mentalitas kolonial'.

        "Jelas bahwa di setiap tingkatan, Belanda tanpa ragu menerapkan standar yang berbeda untuk … para ‘subjek’ kolonialnya," kata ringkasan pada temuan tersebut.

        Namun, seorang perwakilan dari Institut Veteran Belanda, telah mengungkap ketidaksetujuannya terhadap studi tersebut. Ia pun mengkritik temuan terbaru itu, mengatakan bahwa penelitian itu telah membangkitkan 'perasaan tidak nyaman'.

        "Para veteran yang bertugas di bekas Hindia Belanda secara kolektif telah ditempatkan di dok tersangka berkat kesimpulan yang tidak berdasar ini," ucap direktur lembaga itu, Paul Hoefsloot, dalam sebuah pernyataan tertulis.

        Meskipun studi tersebut berfokus pada tindakan Belanda, Hoefsloot mencatat bahwa pasukan Indonesia juga menggunakan kekerasan 'intens'.

        Menurutnya, kekerasan dari pasukan Indonesia setidaknya telah menewaskan sekitar 6 ribu orang pada fase awal konflik, dengan sasaran orang Eurasia, Maluku, dan kelompok minoritas lainnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: