Angkatan Laut Amerika Luncurkan Armada Drone di Timur Tengah, Begini Strateginya
Angkatan Laut Amerika Serikat mengumumkan peluncuran armada gabungan baru, drone, di Timur Tengah bersama dengan negara-negara sekutu. Drone itu dikerahkan untuk berpatroli di wilayah perairan yang bergejolak, di tengah ketegangan yang memanas dengan Iran.
Komandan Armada Kelima AS, Laksamana Madya Brad Cooper, mengatakan 100 pesawat tak berawak jenis selam maupun berlayar akan melipatgandakan kapasitas pengawasan Angkatan Laut AS.
Baca Juga: Israel Klaim Cegat Drone dan Pesawat Tempur dari Lebanon
Hal ini memungkinkannya untuk mengawasi perairan yang penting bagi aliran minyak dan pengiriman global. Perdagangan di laut telah menjadi sasaran dalam beberapa tahun terakhir, karena runtuhnya kesepakatan nuklir Teheran dengan kekuatan dunia.
“Dengan menggunakan sistem tak berawak, kita bisa melihat lebih banyak. Mereka memiliki keandalan yang tinggi dan menghilangkan faktor manusia," kata Cooper di sela-sela pameran pertahanan di Abu Dhabi.
Cooper menambahkan bahwa, drone tersebut adalah satu-satunya cara untuk menutupi celah. Cooper berharap kekuatan drone yang menggunakan kecerdasan buatan akan beroperasi pada musim panas 2023.
Armada Kelima AS berbasis di Bahrain dan mencakup Selat Hormuz yang penting bagi perdagangan minyak dunia. Merekanjiga beroperasi di Laut Merah, dekat Terusan Suez yang merupakan jalur air di Mesir yang menghubungkan Timur Tengah ke Mediterania, dan Selat Bab al-Mandeb di lepas Yaman.
Sejumlah serangan dan peningkatan eskalasi terjadi di laut lepas dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini karena keputusan mantan Presiden Donald Trump yang menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, dan menerapkan kembali sanksi yang menghancurkan ekonomi negara tersebut.
Perang bayangan maritim telah terjadi ketika kapal tanker minyak disita oleh pasukan Iran dan ledakan mencurigakan telah menghantam kapal di wilayah tersebut, termasuk yang terkait dengan perusahaan Israel dan Barat. Iran telah membantah terlibat dalam serangan itu. Namun Barat mengklaim memiliki bukti bahwa Iran terlibat dalam serangan itu.
“Sudah ditetapkan dengan baik bahwa Iran adalah nomor satu dalam ancaman regional utama yang kami tangani. Ada komponen rudal balistik, rudal jelajah dan UAV (drone), dalam kemampuan dan proliferasi massa mereka, serta kekuatan proksi," kata Cooper.
Iran mensponsori milisi proksi di Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman yang memberikan jangkauan militer di seluruh wilayah. Selama perang saudara Yaman, kelompok pemberontak Houthi yang didukung Iran telah mengirim drone bermuatan bom ke perairan Saudi yang telah merusak kapal dan fasilitas minyak.
“Apa yang dilakukan Houthi, itu adalah operasi yang sama sekali berbeda yang berorientasi ofensif. Apa yang kami lakukan secara inheren berorientasi pada pertahanan," kata Cooper.
Ancaman bersama dari Iran telah mendorong penataan kembali politik di Timur Tengah. Pada 2020, Uni Emirat Arab dan Bahrain menormalkan hubungan dengan Israel di bawah Kesepakatan Abraham yang ditengahi Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump.
Hubungan normalisasi itu meluas ke diplomasi militer. Israel untuk pertama kalinya bergabung dalam latihan angkatan laut besar-besaran yang dipimpin AS di wilayah Bahrain pada awal bulan ini. Israel berpartisipasi secara terbuka bersama negara-negara Teluk Arab lainnya yang tidak memiliki hubungan diplomatik, termasuk Arab Saudi.
Cooper mengatakan, Israel kemungkinan akan bergabung dalam satuan tugas drone angkatan laut tak berawak di wilayah tersebut.
“Saya mengharapkan latihan di masa depan di mana kita akan bekerja berdampingan,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: