Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menilai faksionalisasi di Partai Gerindra sudah pasti ada. Masing-masing faksi saling bersaing untuk mendapat tempat paling dekat dengan Ketum Prabowo Subianto.
"Bisa jadi, M. Taufik menjadi salah satu korban dari persaingan itu. M. Taufik harus terdepak dari kursi Wakil Ketua DPDR DKI Jakarta," kata Jamil kepada Warta Ekonomi.
Hal yang sama juga terlihat ketika Sandiaga Uno disudutkan oleh sesama kader Gerindra hanya karena dinilai saingan Prabowo dalam pencapresan. Padahal Prabowo sendiri tidak ada mempersoalkan hal itu.
"Hanya saja, ada faksi di Gerindra yang tidak berkenan nama Sandiaga mencuat. Faksi tersebut tidak menghendaki Sandiaga menonjol, apalagi harus bersaing dengan Prabowo,"
Faksi-faksi di partai politik, termasuk Gerindra, bisa saja terbentuk secara alamiah. Mereka membentuk faksi berdasarkan kesamaan kepentingan.
Mereka tentu tidak ingin tergilas oleh faksi lainnya. Karena itu mereka berupaya memperkuat faksinya agar daya tawarnya dari hari ke hari semakin kuat. Hal itu diperlukan agar kue kekuasaan di partainya juga semakin besar.
Selama faksi-faksi itu bersaing dan berekut kekuasaan sesuai aturan yang berlaku di partainya tentu tidak masalah. Justeru hal itu menjadi kekuatan untuk membesarkan partainya.
Namun yang kerap terjadi, kalau kekuatan faksi-faksi yang ada di partai relatif seimbang, biasanya pertarungannya akan semakin kencang. Di sinilah kerap terjadi saling sikut demi kekuasaan yang lebih besar.
"Di Gerindra, tampaknya persaingan antar faksi masih sesuai dengan koridor partainya. Mereka bersaing masih tidak vulgar karena masih menghormati Prabowo,"
Persaingan antar faksi bisa saja lebih menguat dan vulgar bila Gerindra tidak lagi dipimpin Prabowo. Antar faksi bisa saja bersaing secara terbuka untuk memenangkan kekuasan di Gerindra.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat