Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Lima Paket Kebijakan BI dalam Menstabilkan Perekonomian Pasca Covid-19

        Lima Paket Kebijakan BI dalam Menstabilkan Perekonomian Pasca Covid-19 Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
        Warta Ekonomi, Surabaya -

        Guna mengatur sistem keuangan di sektor kredit, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter mengeluarkan jurus paket kebijakan, yakni makroprudensial. 

        Kebijakan ini sebagai perjodohan dari kebijakan suku bunga acuan. Kebijakan ini tentunya memiliki tujuan, yaitu mencegah instabilitas sistem keuangan yang bisa berdampak sistemik serta meningkatkan kualitas fungsi intermediasi perbankan di Indonesia. 

        Baca Juga: Wapres Apresiasi BI dalam Pengembangan UMKM

        BI menggunakan instrumen kebijakan ini untuk mencapai indikator ekonomi yang diinginkan, seperti pertumbuhan ekonomi dan menstabilkan kondisi jasa keuangan yang tidak seimbang. 

        Jika melihat dari kedua kebijakan ini bisa jadi saling membantu satu sama lain. Contoh saja, ketika BI ingin mengarahkan kenaikan inflasi, maka otoritas moneter tersebut akan melancarkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan menurunkan suku bunga acuan.

        Akan tetapi, hubungan kedua kebijakan ini bisa di bilang unik. Pasalnya, kebijakan makroprudensial juga bisa menahan sistem keuangan dari dampak negatif yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan suku bunga acuan. Ada lima  jenis kebijakan makroprudensial yang berada di negara kita. Apa saja? 

        Baca Juga: Laporan Keuangan BI Kembali Diganjar Opini WTP dari BPK

        Pertama: Countercyclical Buffer (CCB) ialah tambahan modal yang wajib dibentuk oleh bank dan berfungsi sebagai penyangga (buffer) demi mengantisipasi kerugian akibat pertumbuhan kredit atau pembiayaan perbankan yang berlebihan. Bahkan, BI telah mewajibkan setiap bank untuk memiliki CCB sebesar 0 persen hingga 2,5 persen dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank. 

        Kedua: Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV dan FTV). Sebuah kebijakan LTV dan FTV akan dikatakan longgar jika rasio keduanya mendekati 100 persen. Dengan kata lain, di bawah kebijakan LTV dan FTV yang longgar, seorang konsumen bisa mendapatkan kredit kendaraan atau properti hanya dengan membayar uang muka (down payment) yang semakin sedikit. Bahkan, konsumen tidak perlu membayar uang muka kredit jika rasio LTV dan FTV berada di angka 100 persen.

        Sebaliknya, kebijakan LTV dan FTV disebut ketat jika rasio keduanya kian kecil dan mendekati ke arah 0 persen. Salah satu tujuan dari kebijakan makroprudensial LTV dan FTV adalah demi menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang berasal dari peningkatan seperti harga properti

        Ketiga: Rasio Intermediasi Makroprudential (RIM). RIM merupakan instrumen makroprudensial yang ditujukan untuk menilai kemampuan kredit perbankan. RIM sendiri merupakan perluasan dari rasio pinjaman terhadap pendanaan, yang akrab disebut Loan to Funding Ratio (LFR).  BI menetapkan satu angka RIM sebagai acuan. Saat ini, BI mewajibkan perbankan untuk memiliki RIM di angka 84 persen hingga 94 persen 

        Baca Juga: Normalisasi Kebijakan, BI Bakal Percepat Aturan Kenaikan GWM Bertahap

        Artinya, jika RIM bank di bawah 84 persen maka penyaluran kredit bank tersebut belum maksimal. Sementara itu, jika RIM hampir mentok ke angka 94 persen artinya bank tersebut hampir tidak memiliki ruang tersisa untuk menyalurkan kredit.

        Keempat: Penyangga Likuiditas Makropudensial (PLM) merupakan cadangan likuiditas minimum dalam rupiah, yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk surat berharga berdenominasi rupiah, yang dapat digunakan sebagai bagian dari operasi moneter. Besarannya ditentukan oleh BI dengan mengambil persentase tertentu dari DPK. 

        PLM juga memiliki fitur fleksibilitas. Yakni, kondisi di mana surat berharga tersebut dapat digunakan untuk transaksi repo kepada BI dalam operasi pasar terbuka sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam denominasi rupiah. 

        Baca Juga: Ini Alasan BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan di Level 3,50%

        Dengan kebijakan PLM ini, BI berharap bisa mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas serta menjadi instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang berlaku untuk seluruh bank di Indonesia 

        Kelima: Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) merupakan pinjaman dari BI kepada bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Kesulitan likuiditas jangka pendek adalah keadaan di mana arus dana yang masuk ke bank terbilang lebih kecil ketimbang arus dana keluar dalam rupiah. 

        Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jatim, Budi Hanoto mengatakan, sebagain dari kebijakan yang di terapkan oleh BI tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan di beberapa daerah salah satunya yakni, provinsi Jatim. Terbukti kata Budi Hanoto, kinerja ekonomi wilayah Jatim pada triwulan IV 2021 lalu meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. 

        "Pada triwulan laporan, kinerja ekonomi Jatim tumbuh 4,59 persen (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh sebesar 3,27 persen (yoy)," terang Budi Hanoto di Surabaya beberapa hari lalu. 

        Baca Juga: Gandeng BI dan OJK, Tokopedia Luncurkan Modul Literasi Keuangan untuk UMKM Lokal

        Hal ini karena adanya pelonggaran kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejalan dengan penurunan laju penyebaran varian delta Covid-19 yang berimplikasi pada membaiknya aktivitas ekonomi masyakarat. Secara umum, pelonggaran kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat pada tahun 2021 lalu seiring berkurangnya kasus Covid-19 dan percepatan vaksinasi Covid-19 mendorong kenaikan mobilitas masyarakat.

        Sementara itu, Budi Hanoto menjelaskan bahwa pada triwulan IV 2021 lalu sektor kredit UMKM mengalami peningkatan. Kredit UMKM di Jatim tumbuh 12,94 persen (yoy), meningkat dibandingkan triwulan III 2021 yang sebesar 0,11persen (yoy). 

        "Hal ini ditopang oleh peningkatan kredit 69 investasi (KI) maupun kredit modal kerja (KMK) UMKM," ujarnya 

        Baca Juga: Dorong Ekspor Nasional, Kemendag Beri Dukungan Pembiayaan dan Asuransi untuk Pelaku UMKM

        Pangsa kredit UMKM terhadap total kredit di Jatim pada triwulan IV 2021 mengalami peningkatan sebasar 31,00 persen atau mengalami kenaikan, dibandingkan pangsa pada triwulan III 2021 yang sebesar 29,72 persen. Hal ini salah satunya didukung oleh kebijakan target proporsi kredit UMKM perbankan terhadap 70 total kredit perbankan. 

        "Provinsi Jatim telah mencapai target tersebut dan terus mengalami peningkatan proporsi sejak tahun 2013 lalu. Peningkatan ini sejalan dengan komitmen Pemerintah Provinsi Jatim dan perbankan untuk  bersinergi mendorong peran UMKM dalam perekonomian Jatim yang memiliki kontribusi besar," pungkas Budi Hanoto.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Mochamad Ali Topan
        Editor: Ayu Almas

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: