Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Lewat FoLU Net-Sink 2030, Indonesia Serius Tangani Perubahan Iklim Dampak Pemanasan Global

        Lewat FoLU Net-Sink 2030, Indonesia Serius Tangani Perubahan Iklim Dampak Pemanasan Global Kredit Foto: Instagram/jktinfo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Akhir-akhir ini Anda pasti menemukan gejala-gejala pemanasan global yang saat ini kian ekstrim. Misalnya suhu udara yang sangat panas atau sebaliknya sangat dingin.

        Pemanasan global memang selalu jadi perbincangan banyak orang dari para ilmuwan, ahli, aktivis, bahkan masyarakat biasa yang terkena dampaknya. Hal ini karena memang dampak pemanasan global sangat besar dan berbahaya bagi lingkungan, ekosistem dan kesehatan umat manusia.

        Baca Juga: Isu Perubahan Iklim, The Body Shop® Indonesia Resmi Kampanyekan Be Seen Be Heard

        Pemanasan golbal dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan ini menghasilkan gas-gas yang semakin lama semakin banyak jumlahnya di atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) melalui proses yang disebut efek rumah kaca yang berimbas pada terjadinya perubahan iklim.

        Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesar pada 2021

        Indonesia masuk dalam sepuluh negara yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sektor terbesar penghasil emisi gas rumah kaca di negara ini adalah listrik, kemudian disusul agrikultur dan transportasi.

        Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) atau Kementerian Investasi mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat ke-8 dalam menyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Dengan urutan itu, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk Indonesia membersihkan dunia melalui transisi energi dari yang fosil ke energi hijau atau energi baru terbarukan (EBT).

        Baca Juga: Kemenkeu Ajak Negara dalam Forum GPDRR Perkuat Kolaborasi Penanggulangan Bencana Iklim

        Staf Khusus Menteri Investasi/BKPM, Pradana Indraputra, mengatakan peringkat tersebut memang naik dari tahun sebelumnya, namun sebetulnya angka emisi karbon RI terus melandai.

        "Perusahan-perusahaan swasta mempunyai komitmen masing-masing menargetkan reduce carbon emission. Perusahan MNC gak lagi nyari listrik, bukan jadi isu fundamental, tapi bagaimana kita menyediakan listrik bersih bantu mereka penuhi komitmen tersebut," ujar Indra dalam Media Briefing Asosiasi Energi Surya Indonesia terkait kendala PLTS atap di segmen commercial and industry (C&I), Selasa (15/2/2022).

        Selain Indonesia, Tiongkok menjadi dengan predikat pertama yang menyumbang emisi gas rumah kaca dunia. Diketahui negara ini menyumbang 11,94 gigaton CO2 di tahun 2021. Sektor terbesar yang menghasilkan emisi gas rumah kaca di Tiongkok adalah listrik dan sektor perindustrian.

        Kemudian, Amerika Serikat berada di peringkat kedua negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar Bumi. Negara ini menyumbang emisi karbon 4,64 gigaton CO2. Sektor penyumbang gas rumah kaca terbesar di AS ialah listrik dan transportasi.

        Baca Juga: Upayakan Pengendalian Perubahan Iklim, Menteri LHK Suarakan Negara Berkembang untuk Pendanaan Iklim

        Uni Eropa menduduki peringkat ketiga negara pelepas emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Uni Eropa menyumbang 2,71 gigaton CO2. Seperti AS, listrik dan transportasi menjadi sektor terbesar yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

        Untuk itu, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang harus bersiap menghadapi ancaman pemanasan global atau global warming karena efek emisi gas buang (CO2).

        Baca Juga: Bertolak ke Berlin, Menteri LHK Cari Inovasi Pemulihan Alam Dampak Perubahan Iklim

        Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong sebagai negara yang rentan terhadap dampak buruk dari perubahan iklim dan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca global, Indonesia berkomitmen tinggi untuk mengurangi emisi GRK.

        Pemerintah melalui Kementerian LHK kemudian menyusun rencana jangka panjang rendah karbon/Long Term Strategy (LTS). Dalam hal ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. 

        Melalui visi yang disampaikan di dokumen LTS-LCCR, Indonesia akan meningkatkan ambisi pengurangan GRK melalui pencapaian puncak emisi GRK nasional tahun 2030, di mana sektor-sektor Forestry and Other Land Use (FoLU) sudah mencapai kondisi net sink, dengan capaian 540 Mton CO2e pada tahun 2050, dan dengan mengeksplorasi peluang untuk mencapai progres lebih cepat menuju emisi net-sink dari seluruh sektor pada tahun 2060.

        Alue menjelaskan langkah maju dari sektor FoLU salah satunya adalah dengan terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) LHK Nomor 168 tentang FoLU NetSink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada 24 Februari 2022.

        Baca Juga: GPDRR 2022 Digelar, Menteri Basuki Ajak Delegasi Siapkan Antisipasi Pengurangan Perubahan Iklim

        "Tingkat serapan emisi sektor FoLU ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya (net sink)," katanya dalam acara Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia di Jakarta, Rabu (11/5/2022).

        Lantas, apa itu FOLU Net Sink?

        FOLU adalah singkatan forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan. Dalam dokumen penurunan emisi atau nationally determined contribution (NDC), FOLU menjadi satu dari lima sektor program mitigasi krisis iklim. Adapun, FOLU net sink adalah keadaan ketika sektor lahan dan hutan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya.

        Baca Juga: Menuju FOLU Net Sink 2030, Indonesia dan Amerika Serikat Jalin Kerja Sama!

        Sebagai siklus hidupnya, pohon menyerap karbon untuk mengubahnya menjadi oksigen dan glukosa melalui fotosintesis. Karbon yang ada dalam pohon akan menguap menjadi gas rumah kaca ketika ia terbakar, mati karena ditebang, atau membusuk. Deforestasi adalah penyebab 24% emisi global saat ini yang totalnya mencapai 51 miliar ton setahun.

        Dalam hutan juga dikenal istilah siklus karbon hutan yang merujuk pada keadaan bergeraknya karbon secara dinamis antara atmosfer dengan hutan. Ruang antara bumi dan atmosfer akan melepaskan karbon dioksida sementara di dalam pohon sendiri terjadi penyerapan karbon. Karbon dioksida di atmosfer akan terserap oleh pohon melalui proses fotosintesis. 

        Peran Penting Indonesia Capai NDC 2030

        Indonesia memiliki hutan yang luas melingkupi sekitar 71% (133,57 juta hektar) dari seluruh area lahan di Indonesia (187,9 juta hektar) dan termasuk negara dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia. Sudah seharusnya Indonesia menjaga hutan hujan tropis alaminya yang memiliki berbagai peran penting. Terlebih saat ini dampak dari perubahan iklim sudah terasa dan berbagai negara di belahan bumi pun menyadarinya. 

        Selain sebagai paru-paru dunia karena mengeluarkan oksigen (O2), hutan juga berperan penting sebagai regulator iklim yang berperan menyerap karbondioksida (CO2) di atmosfer melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam bentuk biomassa.

        Baca Juga: Melalui Pengelolaan Hutan Lestari, KLHK Optimis Menuju Indonesia's FoLU Net Sink 2030

        Meskipun hutan juga dapat menjadi pengemisi karbondioksida (CO2) karena proses respirasi, dekomposisi dan pembusukan yang dibantu oleh berbagai macam jasad renik. Namun, hutan yang belum terjamah (intact forest) akan mencapai kondisi klimaks sehingga terjadi keseimbangan serapan keluaran karbon (net carbon balance). Intervensi manusia akan mengganggu keseimbangan sehingga menyebabkan terjadinya fluktuasi simpanan karbon di hutan.

        Jadi, menghentikan deforestasi dan degradasi hutan hujan tropis adalah kunci agar hutan hujan tropis mampu memperlambat pemanasan bumi, lautan dan atmosfer akibat kegiatan manusia.

        Baca Juga: Indonesia Sampaikan Inisiatif Reduksi FOLU Net Sink dan Polusi Sampah Plastik Laut

        Sektor yang menjadi tanggung jawab Indonesia untuk mengurangi emisi karbon berasal dari sektor kehutanan, energi, limbah, industri dan pertanian. Adapun sektor kehutanan paling besar berkontribusi terhadap penurunan emisi mencapai 49%. Pada tahun 2030, semua sektor akan mencapai puncak emisinya. Namun pada waktu bersamaan Indonesia akan mencapai penyerapan bersih (net sink) karbon sektor kehutanan dan lahan.

        Dari target emisi sebesar 29% pada 2030 yang tertuang dalam NDC, sektor kehutanan dan lahan harus menurunkan emisi sebesar 17%, dan energi sebesar 11%. Jika kedua sektor ini diakumulasikan sudah mencapai 28%, artinya sektor lain sangat kecil kontribusinya. Adapun KLHK tetap fokus pada sektor kehutanan dan energi. Dari sektor kehutanan Indonesia akan mencapai net sink FoLU pada 2030 dan ini menjadi tugas bersama juga.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rena Laila Wuri
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: