COP30 Gagal Beri Kepastian, Indonesia Didesak Perkuat Tata Kelola Iklim
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Menyusul gagalnya Konferensi Iklim PBB (COP30) menghasilkan arahan global yang jelas dan mengikat untuk keluar dari ketergantungan bahan bakar fosil, Indonesia dinilai perlu segera memperbaiki tata kelola dan implementasi komitmen iklim nasional. Tanpa fondasi akuntabilitas yang kuat, komitmen Indonesia di COP30 berisiko tidak terealisasi.
Negosiasi akhir Global Mutirão tidak secara eksplisit mencantumkan arahan fase keluar dari bahan bakar fosil. Ketiadaan peta jalan yang mengikat menyoroti kerentanan pelaksanaan Nationally Determined Contribution (NDC) berbagai negara, termasuk Indonesia.
“COP30 bertujuan untuk fokus pada agenda transisi energi. Namun, dalam teks Global Mutirão, tidak ada frasa yang berhubungan dengan transisi energi, seperti arahan pada fase bahan bakar fosil. Tidak ada roadmap, dan masih bersifat voluntary, jadi tidak mengikat untuk komitmen phase out fosilnya juga tidak jelas,” kata Wira A. Swadana, Climate Action Senior Lead World Resources Institute (WRI) dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (6/12/2025).
Baca Juga: Greenpeace Soroti Deforestasi dan Krisis Iklim sebagai Pemicu Banjir Sumatera
Wira menambahkan, lemahnya konsensus itu tercermin dari terbatasnya dukungan terhadap Deklarasi Belém tentang transisi adil dari bahan bakar fosil, yang hanya ditandatangani 24 negara terdampak perubahan iklim.
Kondisi tersebut berpotensi menghambat upaya transisi energi dalam memperoleh Means of Implementation (MOI), seperti pendanaan dari Just Transition Mechanism baik domestik maupun internasional. Namun, ketiadaan tekanan kolektif dari negara maju justru berpotensi mengalihkan beban kepada negara penghasil bahan bakar fosil seperti Indonesia.
Tantangan juga muncul dari sisi akuntabilitas internal. Peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, Riko Wahyudi, mengingatkan bahwa keberhasilan Indonesia menjaga emisi di bawah baseline NDC periode sebelumnya tidak lepas dari penurunan aktivitas ekonomi selama pandemi COVID-19. Setelah pandemi berakhir, emisi kembali meningkat dan mendekati baseline.
Baca Juga: IDXCarbon Gaet Minat Global, Catat 2,75 Juta ton CO₂ di COP 30 Brazil
Riko menyoroti masalah dasar dalam tata kelola iklim nasional. Ia menjelaskan tidak semua aksi iklim diukur, divalidasi, dan diverifikasi. Hanya aksi iklim dalam cakupan NDC yang menjalani mekanisme measurement, reporting, and verification (MRV), itupun belum seragam karena belum ada mandat sektoral yang jelas.
Menurutnya, cakupan NDC dapat diperluas, tetapi tanpa mandat sektoral yang tegas, pengawasan tetap tidak optimal. Kerapuhan ini semakin berisiko ketika Indonesia aktif dalam mekanisme perdagangan karbon internasional di bawah Artikel 6 Perjanjian Paris.
“Jangan sampai kita aktif di mekanisme internasional seperti perdagangan karbon (Artikel 6), tetapi target NDC sendiri tidak tercapai pada 2030. Karena lucu, sudah jualan target, tapi emisi tidak turun. Maka kita harus akan lebih bayar lebih tinggi lagi,” kata Riko.
Ia menyebut posisi Indonesia kini berada dalam titik krusial. Tekanan global untuk meninggalkan batu bara akan semakin kuat usai COP30 yang tidak menghasilkan kejelasan, sementara komitmen nasional belum sepenuhnya didukung sistem tata kelola dan implementasi yang memadai.
Baca Juga: COP30: Indonesia Menangkal Kritik, Memperkuat Diplomasi Iklim Global
“Kalau NDC ini tidak tercapai – capaian kita masih sangat jauh dari target 2030, jangankan net sink di sektor FOLU (forestry and other land use), net zero pun masih belum tentu. Untuk itu di sektor energi ke depannya, commitment political will itu penting, roadmap-nya dibentuk secara komprehensif dan inklusif, safeguard-nya, yang mengintegrasikan GEDSI juga dibentuk, dan upaya transisi energi itu juga dijalankan. Jangan sekadar omongan saja,” Riko menegaskan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement