Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bustanul Arifin memprediksikan beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia akan menghadapi krisis pangan global akibat dari pandemi Covid-19 dan pengaruh invasi Rusia ke Ukraina.
Selain itu, banyak produsen pangan dilanda kekeringan, sehingga harga pangan seperti jagung dan kedelai mulai beranjak naik dan ancaman itu juga akan dihadapi bangsa Indonesia.
"Rusia dan Ukraina, sebagai produsen energi yang besar, konflik dua negara Eropa Timur ini berhasil melonjakkan harga energi, khususnya minyak bumi dan gas. Selain itu, pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir ini membuat sistem logistik global ikut terganggu," kata Bustanul Arifin lewat pesan tertulisnya, Jumat (17/6).
Menurut Guru Besar Universitas Negeri Lampung (Unila) itu, sistem pangan perlu ditransformasi oleh Pemerintah Indonesia agar mampu mencapai outcome ketahanan pangan, dan kesehatan lingkungan secara umum. Sistem pangan ke depan, harus lebih komprehensif dan berkelanjutan meliputi aktivitas produksi, pengolahan, distribusi, perdagangan, hingga konsumsi pangan.
“Hasil akhir dari sistem pangan tersebut ialah ketahanan pangan yang meliputi dimensi ketersediaan, akses, serta pemanfaatan pangan. Sistem pangan juga membawa hasil outcome berupa, kesejahteraan sosial yang meliputi lapangan kerja, tingkat penghasilan, modal manusia, modal sosial, modal politik,” ujar Bustanul Arifin.
Dijelaskan Bustanul Arifin, dalam konteks Presidensi G-20, Indonesia telah berkomitmen melaksanakan sistem pangan perkelanjutan dan tangguh atau dikenal dengan istilah Sustainable and Resilient Food Systems (SRFS). SRFS merupakan suatu strategi tansformasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, untuk dapat berkontribusi pada pola makan sehat dan seimbang.
“SRFS juga sangat kompatibel dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, konservasi ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim,” jelasnya.
Sistem pangan dan pemanfaatan lahan berkelanjutan akan mampu memulihkan tanah dan lahan terdegradasi kembali ke alam, serta ekosistem yang menghasilkan tambahan produktivitas. Strategi transformasi seperti ini saling berhubungan sehingga solusinya juga perlu dikembangkan secara terintegrasi.
Lebih lanjut Bustanul Arifin mengatakan, peningkatan produktivitas pangan dan pertanian melalui penggunaan input kimia yang lebih rendah dan pemberdayaan petani kecil.
“Langkah peningkatan produktivitas, tidak hanya relevan untuk pangan pokok beras, jagung, minyak nabati, tapi juga hortikultura bernilai tinggi,” paparnya.
Selain itu, perubahan teknologi pertanian termasuk bioteknologi modern dan bahkan produk rekayasa genetika (PRG) atau genetically modified organism (GMO). Namun, lanjut Bustanul Arifin, tidak banyak pihak atau pengambil kebijakan yang siap mengadopsi dan mengembangkan produk rekayasa genetika untuk sistem pangan-pertanian karena sikap kekhawatiran yang berlebihan.
Perbaikan kesehatan tanah (soil health) untuk mendukung strategi sistem pangan tangguh dan berkelanjutan (SRFS), misalnya, melalui pengembangan pertanian organik, kombinasi, serta keseimbangan penggunaan pupuk organik dan lainnya.
“Transformasi sistem pangan amat diperlukan untuk berkontribusi strategi antisipasi dan mitigasi menghadapi krisis pangan yang sebenarnya,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat