Dunia saat ini sedang mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Belum selesai krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, saat ini kita dihadapkan pada krisis pangan dan energi karena perang antara Rusia dan Ukraina. Dan krisis yang terjadi saat ini belum sampai puncaknya. Karena belum ada gejala ekonomi dunia sedang membaik.
Bank Dunia pun telah memberi peringatan tentang ancaman resesi ekonomi ini. Dalam laporan 'Global Economic Prospect' edisi Juni 2022 yang dirilis oleh Bank Dunia atau World Bank, menyebut negara-negara Eropa Timur adalah 'korban' potensial resesi. Kawasan Amerika Latin juga diperkirakan tumbuh 2,2% tahun ini, namun risiko resesi di kawasan tersebut tidak tertutup.
Baca Juga: Perbaiki Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, BPKP Gandeng Kejaksaan Agung Bentuk Tim Audit
Amerika pun di tengah ancaman resesi ekonomi. Di tengah inflasi umum yang melesat, AS melaporkan inflasi inti di negara tersebut justru stagnan dan cenderung melambat. Inflasi umum AS tercatat sebesar 8,6% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini, atau menjadi yang tertinggi sejak Desember 1981.
Dan bisa saja yang terjadi di lapangan lebih tinggi, karena The Fed merubah cara hitung angka inflasi beberapa kali sejak tahun 1980-an, sehingga angka inflasi yang dipublikasikan menjadi lebih rendah. Dan daya beli masyarakat di lapangan sudah jauh menurun sebagai akibat dari inflasi tersebut sehingga masyarakat perlu mendahulukan konsumsi esensial dan meninggalkan konsumsi non-esensial.
"Indonesia cukup terbantu dengan kenaikan harga komoditas internasional seperti batu bara, nikel hingga minyak kelapa sawit. Sehingga memberikan dampak positif ke perekonomian. Mulai dari ekspor, cadangan devisa, pasokan valuta asing hingga tambahan penerimaan negara," kata Menteri Keuangan RI dalam Konferensi Pers APBN KiTA, Sri Mulyani dikutip Selasa (14/6/2022).
Baca Juga: Presiden Jokowi: G7 dan G20 Harus Segera Atasi Krisis Pangan
Dengan demikian sawit diharapkan akan menjadi primadona ekspor. Dan gairah industri sawit diharapkan akan menggeliat untuk turut menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Rabu (15/06/2022), seperti yang diungkapkan Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Setianto krisis pangan dan energi yang terjadi telah memicu inflasi dan perlambatan ekonomi di beberapa negara.
"Dan kabar buruknya, kondisi krisis pangan dan energi berimbas kepada Indonesia. Sebab negara-negara yang mengalami kondisi itu merupakan mitra dagang Indonesia, yang merupakan negara tujuan ekspor produk kita," katanya.
Hal ini berdampak menurunnya permintaan produk dari Indonesia. Tercatat oleh BPS, angka ekspor Indonesia bulan Mei 2022 menurun 21,29% dibanding bulan April 2022. Salah satu yang terkena imbasnya adalah kelapa dan produk turunannya (santan, minyak goreng, minuman air kelapa, kelapa parut, dan sebagainya).
Baca Juga: Pembeli Minyak Goreng Harus Gunakan Peduli Lindungi, Pakar: Ini Kekonyolan Baru
Amerika, Tiongkok, Korea Selatan, India, Thailand dan Malaysia, menurut data Badan Karantina Kementerian Pertanian Indonesia (Maret 2022), merupakan negara tujuan ekspor kelapa dan produk turunannya. Negara-negara tersebut mengurangi impor karena sedang krisis ekonomi, secara otomatis berkontribusi mengurangi ekspor produk kelapa Indonesia.
Tidak seperti di Indonesia, produk-produk hasil olahan kelapa bukan merupakan bagian dari konsumsi esensial untuk konsumen negara-negara tujuan ekspor tersebut. Negara terdampak krisis ekonomi akan mengurangi konsumsi produk esensial, dengan demikian produk olahan kelapa akan menjadi satu kelompok produk untuk dikurangi jumlah importasinya.
Baca Juga: Dr. Raymond R. Tjandrawinata: Dunia Harus Bersatu Menanggapi Krisis Ekonomi Global Pascapandemi
Menurut Rudy Handiwidjaja, Ketua Harian HIPKI (Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia) indonesia harus waspada mencermati krisis ekonomi global ini.
"Sebagian negara tujuan ekspor Indonesia untuk kelapa dan produk turunannya sudah mengurangi permintaan. Karena kondisi ekonomi negara mereka yang dilanda krisis ekonomi dan lesunya pasar. Dan ini berdampak pada industri kelapa Indonesia," ujar Rudy, dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (28/6/2022).
Selain setelah Lebaran sale permintaan produk turunan kelapa di pasar domestik Indonesia belum recovery, sekarang dihadapkan pada kondisi global yang juga menurun permintaannya sehingga nilai ekspor juga berkurang, yang khususnya terjadi sebagai akibat dari penurunan volume komoditas yang diekspor.
Dengan kondisi ini, perusahaan mau tak mau menurunkan jumlah hasil produksi agar tidak membebani keuangan dan kerugian, serta untuk memelihara keberlanjutan usaha. Dan secara otomatis akan menyesuaikan dengan dinamika ekspor pembelian bahan baku industri, termasuk kelapa.
Baca Juga: Antisipasi Krisis Ekonomi Global, Jokowi Minta Segera Lakukan Efisiensi
Hal ini dirasa perlu agar senantiasa memelihara keseimbangan antara permintaan dan persediaan agar keberlangsungan usaha dapat dijaga.
Selain di sisi hilir yang sedang 'berat', untuk perkelapaan Indonesia, di sisi hulu juga harus mendapat perhatian. Karena bila industri kelapa sedang menghadapi lesunya pasar, akan susah menampung hasil panen dari petani kelapa.
Baca Juga: Gelontorkan Investasi Rp150 Miliar, Perusahaan Kelapa Sawit Ini Bakal Bangun PKS
"Terlebih jika perkebunan petani kelapa sedang panen raya, dikhawatirkan tidak bisa diserap industri kelapa," tambah Rudy.
Ini tentu masalah baru, karena bila panen kelapa tidak terserap, tentu akan menimbulkan kerugian besar bagi petani kelapa. Dan ini menjadi beban dan tantangan sendiri bagi perusahaan agar senantiasa melakukan berbagai macam penyesuaian serta improvisasi untuk memelihara keseimbangan antara aspek permintaan dengan aspek persediaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: