Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memaparkan bahwa saat ini Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bahkan Utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian Utara alami kenaikan suhu 0,3°C per dekade.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari 92 stasiun BMKG, kata Dwikorita, mengungkapkan bahwa dalam 40 tahun terakhir terjadi peningkatan suhu di permukaan Indonesia.
Baca Juga: BMKG Deteksi 9 Titik Panas di Dua Kabupaten di Kalimantan Timur
Dia memaparkan, Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto mencatat bahwa suhu permukaan tertinggi di Kota Samarinda naik 0,5°C per dekade. Sementara di Jakarta, katanya, suhu permukaan naik 0,40 sampai dengan 0,47°C per dekade.
"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016, yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," papar Dwikorita dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/7/2022).
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa hasil analisis yang dilakukan pihaknya, senada dengan dengan laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) dalam rilisannya yang dikutip dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada bulan Mei lalu yang memaparkan bahwa hingga akhir 2021, suhu permukaan dunia memanas 1,11°C dari baseline suhu global periode pra-industri.
Dalam rilis WMO, kata Dwikorita, tahun 2021 adalah tahun terpanas ketiga setelah 2016 dan 2020. Dia juga mengungkapkan dalam dekade 2011-2020, merupakan rekor terpanas di permukaan bumi.
"Lonjakan suhu pada tahun 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim, yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global," paparnya.
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Ardhasena Sopaheluwakan memaparkan bahwa kajian yang dirilis oleh Panel Antar-Pemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) yang mengungkapkan bahwa pemanasan global terjadi tanpa campuran tangan manusia (antropogenik).
Pengaruh antropogenik, kata Ardhasena, memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan pengaruh variabilitas alam seperti yang terjadi pada tahun 2020-2021 yang disebabkan oleh badai La Nina. Hal tersebut juga terbukti dari kondisi iklim pada periode tersebut kendati tahun 2016 masih menjadi yang terpanas.
Baca Juga: Warga Ibu Kota Bisa Bernapas Lega, BMKG Siarkan Kualitas Udara Jakarta
"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an, yaitu sebesar 0,2°C per dekade," ujar Ardhasena seperti yang dikutip Antara, Kamis (7/7/2022).
Ardhasena memaparkan, berdasarkan hitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat, pada bulan Mei 2022 mengungkapkan bahwa suhu udara permukaan global meningkat rata-rata anomali sebesar +0,178°C, lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020.
Pada bulan Juni 2022, wilayah dengan nilai anomali positif di mana rata-rata anomali suhu lebih tinggi daripada standar normal klimatologi meliputi bagian timur Amerika Utara, bagian barat Eropa, bagian tengah Rusia, bagian utara Australia, dan sebagian besar Kutub Selatan.
Lebih lanjut, Ardhasena mengatakan melihat kecenderungan tren kenaikan suhu permukaan yang terus terjadi, WMO menyatakan terdapat peluang sebesar 20 persen kenaikan suhu udara permukaan global dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan melebihi nilai ambang batas komitmen Kesepakatan Paris sebesar 1,5°C.
"Maka dari itu, sangat mendesak bagi negara-negara untuk meningkatkan aksi mitigasi gas rumah kaca untuk menekan laju kenaikan pemanasan global," ujar dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: