Tak hanya Muslim Uighur, Budhisme Tibet jadi Korban Diskriminasi Minoritas di China
Media massa di dunia akhir-akhir ini kembali memberitakan informasi masih maraknya berbagai bentuk tindakan keras yang diduga dilakukan oleh otoritas Tiongkok terhadap orang Tibet.
Tindakan keras tersebut antara lain mulai dari intimidasi, pelecehan , penyiksaan atau penganiayaan hingga pembunuhan terhadap individu yang disebut tidak mematuhi kebijakan Beijing.
Menurut Radio Free Asia (RFA), China telah memerintahkan para pemimpin mereka dari dua kabupaten yang saat ini merupakan bagian dari provinsi Sichuan, untuk mencegah orang Tibet setempat yang ingin memberikan penghormatan kepada kepala Biara Tibet paling berpengaruh, yakni Kirti Rinpoche, yang berulang tahun ke-80.
Upaya pencegahan juga dilakukan di dunia maya, segala jenis postingan warga Tibet yang berisi ucapan selamat ulang tahun kepada Rinpoche ke-80 secara online, juga diancam akan dikenakan sanksi keras dari otoritas China setempat.
Semua organisasi asing atau individu akan dilarang menyebarkan konten religius di dunia maya di China di bawah regulasi baru, yang disebut Beijing merupakan upaya lainnya untuk menjaga keamanan nasional.
Menurut aturan baru tersebut, tidak ada organisasi atau individu yang akan diizinkan menyebarkan informasi terkait upacara keagamaan di internet.
Menanggapi hal tersebut, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai tindakan China tersebut jelas melanggar hak azazi manusia (HAM) dan patut diduga memiliki maksud dan tujuan tertentu, jika benar tindakan ini dilakukan oleh Tiongkok.
Apalagi dari sejumlah laporan yang di publish media menyatakan tercatat 8 Agustus 2022, telah menunjukkan angka tingkat represi dan kurangnya ekspresi serta keinginan masyarakat saat ini, yang ingin bertahan di Tibet.
“Tibet Press melaporkan bahwa 60 tahun telah berlalu sejak Dalai Lama bersama dengan banyak orang Tibet, dipaksa meninggalkan Tibet oleh China dan menjadi pengungsi di India,” kata Peneliti CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan, Jum’at, (2/9/2022).
“Tindakan keras yang diambil China hanya karena warga Tibet mengucapkan selamat ulang tahun ke Rinpoche, adalah bentuk nyata ancaman bagi umat beragama,” tegas AB Solissa.
Menurut laporan Tibet Press, China memang mengakui bahwa Buddhisme adalah landasan identitas Tibet, dan oleh karena itu lah Tiongkok diduga melakukan upaya habis-habisan untuk mengurangi pentingnya berjalannya perkembangan agama atau aliran kepercayaan disana.
“Anehnya, China mengklaim telah membebaskan secara damai, namun jika melihat laporan Tibet Press tersebut, apa yang Tiongkok lakukan jelas sebuah pelanggaran HAM,” jelas AB Solissa.
Penindasan agama di Tibet yang dilaporkan telah meningkat selama beberapa dekade terakhir dan dilakukan secara terus-menerus oleh China terhadap orang Tibet, adalah bagian dari proses Sinicisasi lengkap wilayah Himalaya oleh Beijing.
Sejak China menduduki Tibet secara pada 1950-an, Pemerintah Tiongkok yang dikuasai Partai Komunis mulai mengubah pandangan warga asli Tibet tentang agama yang segogianya menjadi hak dasar bagi umat manusia.
Awalnya, China menggunakan pendekatan halus yang lebih humanis, untuk memberikan pandangan baru kepada warga Tibet tentang sisi negatif agama.
Bukan hanya di Tibet, kegiatan ilegal Beijing ini juga mereka terapkan pada jutaan orang-orang Uighur yang memeluk agama Islam, serta etnis minoritas pemeluk agama lainnya di China.
Namun, kurangnya issue hak asasi manusia yang diangkat pada setiap kesempatan untuk mendapatkan perhatian yang layak di platform internasional, berdampak dengan semakin merajalelanya dugaan pelanggaran HAM bagi unat beragama di Tibet.
Atas dasar itulah, CENTRIS mendesak san mengajak masyarakat dunia untuk bersatu padu menghentikan aksi China, terhadap kebebasan beragama di negaranya.
“Negara-negara dunia termasuk Indonesia yang memiliki keberagaman agama, harus terus menyuarakan kebebasan beragama di Tibet yang sejatinya adalah hak dasar setiap manusia,” tutur AB Solissa.
“PBB seyogianya memainkan peran mereka sebagai organisasi terbesar dunia yang sejatinya melindungi segenap bangsa-bangsa dunia, termasuk bangsa Tibet, Uighur dan minoritas lainnya yang kebebasan beragamanya kini tengah terancam,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: