Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mempertanyakan mana teriakan penolakan PDI Perjuangan saat Presiden Jokowi menaikkan harga BBM.
"PDIP membiarkan pemerintah menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax. Sikap dan tindakan PDIP itu tampak berbeda saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga BBM," kata Jamil kepada Warta Ekonomi.
Ia menjelaskan saat itu, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan petinggi PDIP mencucurkan air mata. Mereka terkesan teramat sedih karena kenaikan harga BBM akan membuat wong cilik semakin terpuruk.
"PDIP juga turun ke jalan menyuarakan penolakan kenaikan BBM. Mereka seolah terdepan membela wong cilik," jelasnya.
Dia menilai argumen pembelaan wong cilik sudah tidak mengemuka saat Jokowi menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax. Megawati, Puan, Sekjen PDIP, dan Petinggi PDIP sudah tidak galak dan seolah pasrah atas keputusan petugas partainya tersebut.
"Sudah tidak ada tangis dan demo ke jalan dari PDIP. Mereka ibarat paduan suara, sudah tak terdengar suara lantangnya," sindirnya.
"Jadi, masyarakat menanyakan air mata Megawati, Puan, dan petinggi PDIP saat menentang kenaikan harga BBM di era SBY murni membela wong cilik atau air mata politis? Saat ini kiranya masyarakat sudah dapat menjawabnya," tegasnya.
"Kepentingan politik kiranya yang membuat perbedaan sikap elite PDIP tersebut. Saat mereka menjadi oposisi, mereka terkesan partai yang paling lantang membela wong cilik. Namun setelah mereka menjadi bagian dari kekuasaan, persoalan wong cilik sudah jarang didengungkan,"
"Semua itu tentunya menjadi pelajaran bagi masyarakat dalam menilai partai politik, termasuk tentunya terhadap PDIP. Masyarakat kiranya sudah mengetahui kelayakan PDIP sebagai partai wong cilik atau tidak. Penilaian masyarakat itu akan terlihat pada Pemilu 2024," terangnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: