Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mitigasi Inflasi, Mendag Diingatkan Tak Telat Buka Impor Bawang Putih

        Mitigasi Inflasi, Mendag Diingatkan Tak Telat Buka Impor Bawang Putih Kredit Foto: Antara/Anis Efizudin
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pasca kenaikan harga BBM subsidi, harga sejumlah bahan pokok mengalami kenaikan. Menurut tabel harga Bappenas dan Kementerian Perdagangan (Kemendag), dalam seminggu belakangan harga bawang putih juga cenderung naik.

        Sedangkan data BPS secara periodik mencatat bahwa Bawang Putih adalah salah satu penyumbang signifikan untuk angka inflasi.

        Karenanya, sejumlah pengamat ekonomi dan akademisi mengingatkan agar Mendag Zulkifli Hasan proaktif membuka keran impor bawang putih dan komiditas hortikultura lain, guna mencegah bertambahnya angka inflasi.

        Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB)  Prof Dwi Andreas memprediksi, jika pemerintah terlambat mengeluarkan izin Impor bawang putih, bisa dipastikan harga akan melonjak tinggi. Hal tersebut berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya.

        Saat ini, lanjut Andreas, kebutuhan bawang putih di Indonesia sekitar 600 ribu ton per tahun. Sehingga jika Kementerian Perdagangan menunda impor, hampir dipastikan harga bawang akan bergejolak.

        "Saya amati terus sejak 2017-2019 kalau terlambat impor, pasti harga bisa diatas Rp 60 ribu/kilogam," kata Andreas kepada wartawan, Rabu (7/9/2022).

        Andreas mewanti-wanti, agar Kemendag tidak terlambat membuka keran impor bawang putih. Pasalnya, kenaikan harga komoditas holtikultura akan terjadi akibat kenaikan harga BBM.

        Dikatakannya, besaran kebutuhan bawang putih sudah pasti, sehingga impornya sebenarnya sudah bisa dipastikan. Biasanya harga naik karena stok langka di pasaran.

        Dan berhubung produksi bawang putih di Indonesia sangan rendah, hanya sekitar 10 persen dari kebutuhan, maka sisanya harus ditutup oleh impor.

        “Bawang putih itu memang ketergantungan impor hampir 100 persen, kalaupun ada yang lokal, paling hanya bawang lanang di petani di Tawang Mangu, sedangkan hampir semua di pasaran dari impor,” imbuhnya.

        Ia menilai, belakangan impor hortikultura sudah baik, Karenanya, hal tersebut harus dijaga agar tak mengulang kebijakan impor yang lalu, yang kurang baik.

        "Karena swasembada itu pasti gagal, wajib tanam tidak menjawab persoalan sesungguhnya dari bawang putih. Ternyata betul, kementan saat itu 2019 akhirnya kan gagal total,” jelasnya lagi.

        Andreas menegaskan dirinya bukan membela siapapun. Namun jika harga mahal, maka yang dirugikan adalah konsumen. Sebaliknya, citra dan kinerja kemendag juga menjadi tidak baik, jika terjadi lonjakan harga.

        Hal sama diutarakan pengamat ekonomi, Poltak Hotradero, kepada wartawan, Rabu (7/9) petang. Impor bawang putih diperlukan untuk menekan laju inflasi, terutama karena minimnya produksi bawang putih di dalam negeri.

        Dia menyitir  tabel harga Bappenas dan Kemendag, dalam seminggu belakangan harga bawang putih cenderung naik. Sedangkan data BPS secara periodik mencatat bahwa Bawang Putih adalah salah satu penyumbang signifikan untuk angka inflasi.

        Komponen penyumbang inflasi Indonesia meliputi lebih dari 730 jenis komoditas yang terbagi atas 90 kota besar di Indonesia.

        "Penyumbang terbesar adalah beras dengan bobot antara 15-17%.  Biasanya harga naik karena stok langka di pasaran. Dan berhubung produksi bawang putih di Indonesia sangan rendah, hanya sekitar 10 persen dari kebutuhan, maka sisanya harus ditutup oleh impor," katanya.

        "Kita salah persepsi kalau merasa bahwa segala tanaman bisa ditanam di Indonesia," kata Poltak lagi.

        Menurutnya, bawang putih cocok ditanam di tanah kering dan sejuk. Curah hujan penting buat bercocok tanam, tapi kalau terlalu banyak curah hujan, maka zat hara mudah hanyut sementara tanah yang terlalu basah bisa membuat akar mudah busuk.

        "Itu sebabnya negara seperti Korea Selatan dan Taiwan bisa menghasilkan bawang putih dalam jumlah sangat besar dibandingkan Indonesia," beber Poltak.

        Sedangkan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut harusnya ada kebijakan yang terkait dengan impor hortikulutra seperti bawang putih.  Ia menyebut jika keran impor tetap ditutup, bisa saja terjadi inflasi yang lebih tinggi. Karena akan ada kelangkaan di pasaran.

        “Nanti akan berdampak pada kestabilan pasar. Jadi memang harus ada kebijakan yang fleksibel demi menjaga kebutuhan dalam negeri agar tetap terjaga dan aman,” tuturnya.

        “Ini (impor) untuk mengantisiasi perubahan-perubahan yang ada di dalam negeri seperti gagal panen dan permasalahan lainnya, maka keran impor perlu dibuka. Tapi harus dilihat stok yang ada di dalam negeri, kalau memang menipis maka perlu diantisipasi supaya tidak terjadi kerawanan pangan,” ujar Trubus lagi.

        Soal inflasi dan keterkaitannya dengan stok bahan pangan, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman mengungkapkan sektor energi dan pangan menjadi penyumbang terbesar kenaikan inflasi. Pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, diperlukan kebijakan untuk meminimalisir dampak kenaikan tersebut.

        Salah satunya, menjaga ketersediaan stok pangan di masyarakat. Dia menekankan, jika inflasi pangan bisa dikendalikan, maka akan berpengaruh pada kenaikan inflasi secara umum.

        “Sumber inflasi sampai Agustus 2022 ada di energi dan pangan. September 2022, energi akan naik seiring penyesuaian tarif BBM. Untuk meminimalisir dampak itu, inflasi pangan harus turun,” ujarnya di Jakarta, Senin (5/9/2022).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: