Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        BBM Naik, PDIP dan Demokrat Saling Sindir Era Jokowi atau SBY yang Paling Baik?

        BBM Naik, PDIP dan Demokrat Saling Sindir Era Jokowi atau SBY yang Paling Baik? Kredit Foto: Antara/Adeng Bustom
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kenaikan harga BBM baru-baru ini mendapat penolakan dari sejumlah pihak termasuk partai oposisi di pemerintah, salah satunya Partai Demokrat. Diketahui partai yang diketuai oleh Agus Harimurti Yudhoyono ini akan melakukan demo menentang kenaikan BBM. 

        Karena inilah muncul percikan antara Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai yang menaungi Presiden Joko Widodo. 

        Aksi demo Demokrat ini awalnya ditanggapi oleh Anggota DPR RI FPDI Perjuangan, Adian Napitupulu. Dilansir dari akun instagram @kameraperistiwa Andian menulis bahwa Demokrat harusnya belajar matematika dan sejarah dulu. 

        Baca Juga: BBM Baru Saja Naik, Loyalis Megawati Tiba-tiba Kritik Habis Cara Main Jokowi

        “Di era SBY total kenaikan harga BBM (Premium) Rp 4.690 sementara di era Jokowi total kenaikan BBM jenis Premium/Pertalite Rp 3.500. Jadi SBY menaikan BBM lebih mahal Rp 1.190 dari Jokowi,” tulis Adian.

        Ia juga menyinggung mengenai Pertamina Energy Trading Limited atau lebih dikenal sebagai Petral yang terkenal sebagai mafia migas kala itu. 

        “Di era SBY masih ada "mafia" terorganisir dan masif yaitu Petral yang embrionya sudah ada sejak awal orde Baru yaitu tahun 1969 dan beroperasi mulai 1971. Di era Jokowi Petral dibubarkan tahun 2015 hanya 6 bulan setelah Jokowi dilantik,” terangnya. 

        Baca Juga: Pemerintah Naikkan Harga BBM, Loyalis Jokowi Sampai Ikut Kasih Kritik: Rakyat Kecil Terkena Imbasnya!

        Menanggapi tulisan Andian, Demokrat tidak tinggal diam melalui Hendri Teja,

        selaku Sekretaris Bakomstra DPP Partai Demokrat mereka memberikan balasan. 

        “Adian mesti cross check data. Kenaikan BBM era SBY sangat tergantung harga minyak mentah dunia. Jika harga minyak mentah dunia naik, maka harga BBM naik, dan begitu sebaliknya,” tulis Hendri Teja melalui keterangan tertulisnya yang diterima Warta Ekonomi, Kamis (08/09/22). 

        Menurutnya ini adalah alasan, era SBY pernah menurunkan harga BBM premium hingga Rp 4.500 ketika harga minyak mentah dunia turun. 

        Baca Juga: 5 Catatan Menyesatkan Soal Kenaikan Harga BBM yang Dibongkar Fadli Zon: Tidak Menggambarkan Keadaan Sebenarnya!

        “Sementara pada Juli 2018, ketika harga minyak mentah dunia meroket sampai US$ 128,08 per barel, SBY mampu mempertahankan harga BBM Premium di angka Rp 6.000. Bandingkan dengan era Jokowi yang mematok harga BBM Pertalite pada kisaran Rp 7.450-Rp 8.400 pada 2015-2018, padahal saat itu harga minyak dunia sedang nyungsep-nyungsepnya,” tulisnya. 

        Misalnya, pada Januari 2016, harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah yaitu US$ 27,02 per barel, tapi harga BBM Pertalite tetap dipatok Rp7.900. 

        “Bisa anda bayangkan? Harga minyak mentah dunia lebih murah US$ 100 dollar dari era SBY, tapi harga BBM era Jokowi justru lebih mahal Rp 1.900,” tambahnya. 

        Dan terkait Pertamina Energy Trading Limited atau lebih dikenal sebagai Petral, Hendra mengatakan hal itu tidak ada hubungannya dengan kenaikan BBM. 

        Baca Juga: PDIP Dukung Pemerintah Naikkan BBM, Rocky: Sekarang Kalau Disurvei Pasti Turun Elektabilitasnya, Tapi Kan Ada Perdukunan Survei

        “Apa pula maksud Adian membangga-banggakan pembubaran Petral? Bukankah Pertamina masih merugi? Bukankah Progam BBM 1 harga gagal? Bukankah harga BBM tetap mahal ketika harga minyak mentah dunia turun, tetapi naik ketika harga minyak mentah dunia naik? Jadi, apa sebenarnya dampak pembubaran Petral terhadap turunnya harga BBM? Enggak tampak juga kan?,” ungkapnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
        Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty

        Bagikan Artikel: