China dikabarkan jatuh ke dalam perangkap hutangnya sendiri, setelah pinjaman lunak dengan bunga sangat tinggi kepada negara-negara berpenghasilan rendah, semakin menumpuk karena negara penghutang kesulitan membayar hutangnya kepada Tiongkok.
Bahkan, bank-bank di negeri tirai bambu saat ini telah mengurangi pinjaman di bawah inisiatif Belt and Road (BRI), kepada negara-negara peminjam, karena kesulitan menagih atau menarik kembali uangnya beserta bunga.
Di bawah BRI, China menggelontorkan lebih dari USD 1 triliun sebagai pinjaman ke hampir 150 negara berkembang dan kurang berkembang dengan tingkat bunga tinggi, sehingga Beijing menjadi negara kreditur resmi terbesar di dunia untuk pertama kalinya.
Negara-negara seperti Pakistan dan Sri Lanka adalah contoh negara yang situasi dan kondisi negerinya, sangat mengkhawatirkan keberlangsungan jalannya hubungan hutang-piutang bagi China.
Di tengah ketidakstabilan politik yang berkelanjutan, ekonomi Sri Lanka otomastis runtuh. Kondisi Sri Lanka serupa dengan situasi Pakistan, dimana negara ini juga berada di ambang kehancuran ekonomi.
Dalam laporan European Times, kondisi Sri Lanka dan Pakistan yang gagal membayar kembali pinjaman mereka, menjadi ancaman nyata bagi China.
Di tahun 2014 saja hanya sekitar 10 persen dari negara-negara peminjam di bawah BRI menghadapi krisis likuiditas, dan pada pertengahan 2022, sekitar 70 persen dari mereka mangkir membayar hutang ke China.
Mirisnya, sekitar 40 persen dari negara-negara tersebut masuk dalam kategori negara-negara miskin karena berhutang dengan China.
Dalam laporan tersebut, juga disebutkan jika pandemi Covid-19, di ikuti oleh konflik Rusia-Ukraina, telah berdampak buruk pada negara-negara berkembang yang berhutang kepada China, karena mereka juga harus berjuang untuk memenuhi kewajiban bayar hutang kepada Beijing dan kemungkinan akan menghadapi lebih banyak masalah.
Melihat hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta pemerintah Indonesia untuk mewaspadai jebakan hutang China meski saat ini ekonomi Beijing terjebak sendiri akibat gencar memberi hutang kepada negara dunia.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan dari informasi yang mereka terima, rancangan China untuk menjamin proyek-proyek yang diinvestasikannya pada negara-negara berkembang ini, gagal dan proyek-proyek tersebut telah ditangguhkan atau tidak memiliki nilai komersial.
“Pelabuhan Gwadar di Pakistan belum selesai dibangun dari utang China dan selama dua tahun terakhir, pemerintah Pakistan juga belum bisa membayar iuran untuk proyek pembangkit listrik karena bunga hutang China yang terlampau besar,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jum’at (14/10/2022).
Begitu juga dengan Bandara internasional di Zambia, lanjut AB Solissa, Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan Kota Pelabuhan Kolombo yang dibangundari hutang China namun tidak layak dan tidak memiliki nilai komersial.
“Naasnya, negara-negara yang berhutang mencoba mengajukan beberapa permintaan untuk restrukturisasi utang yang sayangnya, langsung ditolak China,” tutur AB Solissa.
Di sisi lain, meningkatnya perasaan anti Cina yang mukai dirasakan rakyat dari negara-negara yang berhutang kepada Beijing, seperti warga negara Pakistan, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Tiongkok atas strategi perampasan tanah dan penyediaan lapangan kerja bagi rakyatnya sendiri dengan mengorbankan penduduk lokal, sepeti yang mereka lakukan di negara-negara lainnya.
China saat ini mengancam Pakistan untuk menutup pembangkit listrik mereka kecuali pembayaran dilakukan di muka, dan menuduh pembayaran belum dilakukan untuk listrik yang sudah digunakan oleh rakyat Pakistan.
Selain itu, banyak negara Afrika telah menyuarakan keprihatinan mereka atas pinjaman BRI yang tidak berkelanjutan. Zambia telah membatalkan pinjaman luar negerinya yang sebagian besar merupakan pinjaman China untuk berhenti memperparah tekanan utangnya. Artinya 14 proyek di bawah BRI ditarik.
Menurut sebuah studi Observer Research Foundation, kredit Cina mencapai lebih dari seperempat dari total kredit eksternal negara-negara Afrika dengan tekanan utang yang tinggi.
Total kredit China ke negara-negara di benua Afrika diperkirakan melebihi USD 140 miliar. Di antara negara-negara penerima utama kredit Cina adalah Angola, Ethiopia, Kenya, Republik Kongo, Zambia dan Kamerun.
“Kebijakan jebakan utang China BRI sering dikritik dimana China menggunakan cara ini untuk menginstalasi objek vital dan pos-pos militernya di negara yang memiliki hutang dengan Tiongkok,” jelas AB Solissa.
Sementara itu, menurut laporan Wall Street Journal, setelah hampir satu dekade menekan bank-bank China untuk bermurah hati memberikan keringangan kredit, Beijing yang saat ini fokus dengan program Belt and Road 2.0 tiba-tiba menjadi terbuka untuk menerima beberapa kerugian kredit dan menegosiasikan kembali utang kepada negara-negara tertentu.
“Kami mensinyalir China tengah mendorong komunitas internasional untuk menyetujui Belt and Road, salah satu jalan untuk ambisi Xi Jinping menguasai dunia,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: