Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bos BI: Konflik Geopolitik Sebabkan Fragmentasi Ekonomi Global

        Bos BI: Konflik Geopolitik Sebabkan Fragmentasi Ekonomi Global Kredit Foto: Martyasari Rizky
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, terjadinya geopolitik di saat dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya fragmentasi ekonomi global, atau situasi di mana ekonomi global yang sedang tidak menentu dan bergejolak. Ia menyampaikan bahwa ada empat indikator untuk melihat fragmentasi tantangan global tersebut.

        Indikator yang pertama, perekonomian dunia yang terus direvisi ke bawah. Dalam konteks ini, BI memperkirakan bahwa ekonomi global tahun ini tumbuh 3%, tahun 2023 akan turun menjadi 2,6%. Ini lebih rendah dari perkiraan-perkiraan sebelumnya, terutama di Amerika Serikat yang sebelumnya 1,5%, namun dengan kondisi yang ada, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan di tahun 2023 AS hanya akan berada di 1%, Eropa 0,7%, dan Cina di 4,5%.

        Baca Juga: PJ Gubernur Babel Sebut Timah Jadi Urat Nadi Ekonomi Wilayahnya

        "Sehingga, gejolak atau tantangan ekonomi global itu menimbulkan risiko perlambatan ekonomi, di bahkan sejumlah negara berisiko resesi dan stagnansi," ujar Perry dalam acara Seminar Nasional dan Konferensi tentang "Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Pembangunan Berkelanjutan", dipantau secara daring, Rabu (19/10/2022).

        Selanjutnya indikator yang kedua, tingginya inflasi karena tingginya harga-harga energi dan pangan global. Hal ini dampak dari setelah pandemi Covid-19, lalu terjadinya fragmentasi geopolitik yang terjadi di dunia, baik yang berkaitan dengan perang di Ukraina, maupun ketegangan antara Amerika dan Cina. Sehingga, harga-harga komoditas di dunia menjadi tinggi. Inflasi dunia saat ini berada di 9,2%, lalu AS 8,2%, dan Eropa 9,1-9,2%.

        "Bahkan di berbagai negara, seperti Brasil, Turki sangat tinggi, dampak ketegangan geopolitik yang mengganggu mata rantai pasokan global, khususnya energi dan pangan," ujarnya.

        Kemudian indikator yang ketiga, agresifnya kenaikan suku bunga di berbagai negara. Perry memperkirakan Federal Funds Rate (FFR) masih akan naik, dan puncaknya bisa di 4,5% pada akhir tahun 2022. Hal ini juga terlihat dari Eropa yang terus menaikkan suku bunganya untuk mengatasi inflasi. Sementara inflasi tentu saja tidak hanya menekan permintaan, tapi juga gangguan pasokan yang belum tentu bisa diatasi dengan menaikkan suku bunga.

        Baca Juga: Miris Banget, Uni Eropa Lagi 'Perang' buat Stabilkan Harga Energi yang Meroket Saat Ekonomi Merosot

        "Ini yang sering menimbulkan risiko stagflasi, pertumbuhan yang stagnan bahkan melambat, inflasi yang tinggi dan kemudian menjadi risiko stagflasi," lanjut Perry.

        Indikator keempat, sangat menguatnya dolar saat ini. Tahun ini dolar AS menguat kurang lebih sekitar 19-20%. Hal ini merupakan penguatan yang sangat tinggi di sepanjang sejarah. Bahkan, jika diukur sejak satu tahun terakhir, dolar AS telah menguat 20-25%. 

        Baca Juga: Bicara Sektor Pariwisata dan Ekonomi Digital, Menlu Retno: Dua Pilar Percepatan Pemulihan!

        "Ini tentu menyebabkan seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah dalam tekanan," ucapnya.

        Baca Juga: Ini Alasan Blibli Tetap Laksanakan IPO Meski Kondisi Ekonomi Sedang Tidak Baik-baik Saja

        Sebagai kesimpulan, Perry menyampaikan, dengan terjadinya fragmentasi geopolitik antara AS dan Cina, dan terjadinya perang di Ukraina, hal itu menganggu mata rantai pasokan global, sehingga terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi, inflasi tinggi, risiko stagflasi, dan agresifnya kenaikan suku bunga.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Martyasari Rizky
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: