Terus Surplus, Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Diproyeksikan Baik
Menteri Keuangan(Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diproyeksikan cukup baik oleh berbagai lembaga dunia, yaitu di sekitar 5%. Namun, wanita yang kerap disapa Ani itu mengatakan, Indonesia tidak boleh tidak waspada, karena memang guncangan ekonomi dunia saat ini hingga tahun depan, sangat kencang dan besar, sehingga perlu diwaspadai secara baik.
"Kita memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia di Tahun 2022 ini adalah antara 5% hingga 5,3%. Ini artinya, nanti di kuartal III-2022 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh sangat kuat, di area diatas 5,5%, perkiraan yang ada di Kementerian Keuangan," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi Oktober 2022, Jumat (21/10/2022).
Baca Juga: Paparkan Strategi Hadapi Hantu Resesi, Sri Mulyani: Tetap Optimis dan Waspada!
Dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama di kuartal III-2022 hingga bulan September, diperkirakan masih akan sangat kuat. Hal ini dilihat dari berbagai indikator seperti mobilitas, kemudian indeks penjualan ritel, dan spending indeks yang diukur oleh Mandiri, semuanya masih dalam situasi yang positif dan ekspansif.
Demikian juga dari sisi supply, yaitu dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami penguatan.
"Ini berarti, 13 bulan berturut-turut Indonesia PMI-nya terus-menerus dalam zona ekspansi. Menggambarkan bahwa pemulihan ekonomi semenjak terjadinya pandemi sudah berjalan relatif bisa terjaga momentumnya," ujarnya.
Sementara jika di lihat dari konsumsi listrik, dapat dilihat juga pertumbuhan konsumsi listrik oleh sektor bisnis dan industri keduanya mengalami pertumbuhan yang positif, bahkan untuk sektor bisnis tumbuhnya lebih tinggi, yaitu di 17,3% (yoy) dibandingkan industri yang tumbuh di 8,1% (yoy).
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut 3 Negara Terancam Resesi di Tahun 2023, Indonesia Termasuk?
Kemudian dari sisi manufakturing, juga terlihat bahwa industri pengolahan kapasitas produksinya mengalami kenaikan.
"Ini semuanya menggambarkan bahwa kuartal III-2022 ini GDP kita mungkin masih sangat kuat, meskipun kemarin kita melakukan kenaikan harga BBM, namun pengaruhnya terhadap gross mungkin masih relatif terjaga," jelas Ani.
Lebih lanjut, kinerja sektor eksternal Indonesia juga terbilang masih cukup baik, hal ini tercermin dari neraca perdagangan Indonesia yang mengalami surplus US$4,9 miliar.
Baca Juga: Sri Mulyani Dorong Kerja Sama Multilateral Atasi Ancaman Resesi
"Ini adalah surplus 29 bulan berturut-turut. Surplus akumulasi selama tahun 2022 mencapai US$39,9 miliar," lanjutnya.
Ekspor Indonesia juga menunjukkan masih tumbuh cukup tinggi, yaitu 20,28%. Namun, jika dilihat pada trennya, ini menunjukkan sudah mulai ada penurunan dibandingkan dengan beberapa bulan terakhir. Sementara dari sisi impor, pertumbuhannya berada di angka 22,02%, dan ini juga menunjukkan adanya pelemahan dibandingkan dengan 2 bulan terakhir.
"Namun netto ekspor terhadap impor masih relatif bagus. Tentu kalau kita lihat dari ekspor ini, selain kuantitas juga harga, terutama harga CPO yang mengalami penurunan memberikan kontribusi terhadap penerimaan dari ekspor kita yang menurun. Meskipun batubara masih cukup baik," ucap bendahara negara.
Sebagaimana diketahui, saat ini koreksi pertumbuhan ekonomi sedang terjadi di semua negara, angka dari pertumbuhan ekonomi dunia engalami penurunan di 3,2% dan tahun depan diperkirakan akan lebih melemah di 2,7%. Dalam hal ini, berarti telah terjadi koreksi ke bawah. Koreksi ke bawah tersebut, Ani menjelaskan, disebabkan oleh dua faktor, pertama dunia tidak tahu kepastian kapan perang antara Rusia dan Ukraina akan berakhir, yang menimbulkan spillover yang sangat besar.
Kedua, munculnya winter atau musim dingin yang akan menyebabkan permintaan kepada energi meningkat, sementara pasokan tidak pasti. Hal ini pasti akan memberikan tekanan terhadap harga-harga energi.
Baca Juga: Sri Mulyani: Tantangan Ekonomi Global Tak Bisa Diselesaikan oleh Satu atau Beberapa Negara
"Dan tentu kita lihat dengan inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga yang makin drastis dan makin tinggi oleh bank-bank sentral akan makin melemahkan sisi permintaan. Ini yang harus kita waspadai sampai akhir tahun dan sampai dengan tahun 2023," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Martyasari Rizky
Editor: Aldi Ginastiar