Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bahaya Politik Identitas, 'Cebong' dan 'Kadrun' Harus Diberantas, Pengamat Blak-blakan: Kolektivisme Paling Primitif

        Bahaya Politik Identitas, 'Cebong' dan 'Kadrun' Harus Diberantas, Pengamat Blak-blakan: Kolektivisme Paling Primitif Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kehadiran politik identitas yang berkembang semakin menjamur sejak pemilihan umum (pemilu) 2014 dan 2019 dinilai sebagai ancaman yang berbahaya. Hal ini diungkap Peneliti ekonomi dan pengembangan wilayah Hendrawan Saragi.

        "Politik identitas dan rasisme sistemik adalah bentuk kolektivisme yang paling primitif karena menilai seseorang bukan berdasarkan karakter dan tindakannya sendiri tetapi berdasarkan karakter dan tindakan kelompok," katanya di Jakarta, Minggu (6/11/2022).

        Baca Juga: Ogah Dituduh Pakai Politik Identitas Usai Bawa-bawa Umat Kristen, Ade Armando: Ingatlah Kubu Anies Saat Habisi Ahok

        Dia menilai kehadiran ekstrem politik dengan sebutan yang tak pantas dan tak sopan seperti "cebong" dan "kadrun" menimbulkan kerentanan berbangsa pada saat ini.

        "Hal itu berdampak pada tidak adanya minat kerja sama sosial, enggan untuk hidup bersama, dan akibatnya terpisah dari konsepsi sejarah tentang artinya berbangsa Indonesia," ujarnya.

        Oleh karena itu, masyarakat perlu menghindari rasa benci dan balas dendam yang dipicu oleh perjuangan politik. Masyarakat perlu saling menghormati walaupun memegang nilai yang berbeda. 

        "Kita memiliki hak khusus yang melekat dan tidak dapat dicabut dan mengejar kebahagiaan sebagai individu bukan sebagai kelompok suku maupun ras maupun kelompok pilihan politik," tuturnya.

        Baca Juga: Anies Minta Bukti ke Pihak yang Nuduhnya sebagai Bapak Politik Identitas, Niluh Djelantik Punya Nih: Ini Baru Satu Ya!

        Hendrawan pun mengajak masyarakat untuk membentuk kepribadian yang menolak dimanipulasi oleh tindakan politik. Selain itu, masyarakat juga harus kembali pada kebebasan berekspresi yang sebenarnya.

        "Inti dari demokrasi adalah debat terbuka, yang terkadang bisa saling bertentangan, membuka diri untuk berdiskusi, berbalas-balasan akan menghasilkan retorika dan rasionalitas sebagai argumentasi dan akhirnya timbul persuasi yang menggantikan perseteruan sebagai bentuk penyelesaian perselisihan," jelasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: