Anies Baswedan Makin Terpojok, Tak Banyak Parpol Tersisa: Koalisi 'Gemuk' Pemerintahan Cenderung Dukung Ganjar
Proporsi politik saat ini dinilai tidak terlalu menguntungkan bagi capres NasDem, Anies Baswedan. Koalisi pemerintahan mengepungnya sehingga Ganjar Pranowo relatif diuntungkan. Secara khusus, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) memberi sinyal bahwa bukan Anies usungan mereka.
Selain Airlangga Hartarto dengan elektabilitas capres agak di bawah, nyaris tak ada figur yang bisa didorong dari KIB. Artinya, ada peluang KIB bergabung dalam barisan pendukung Ganjar. Opsi lainnya, mendukung Prabowo Subianto. Atau bahkan bisa saja mendukung keduanya jika skema paket Prabowo-Ganjar terbentuk.
Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar, bahkan secara tegas mengungkapkan tidak akan mengusung figur yang membawa politik identitas. Selama ini, hanya Anies yang selalu dikaitkan dengan terminologi itu, bermula dari Pilgub DKI. Meski sebetulnya, semua kubu memiliki politik identitas.
Di sela-sela Silaturahmi Nasional (Silatnas) KIB di Dalton Hotel, Makassar, Minggu, 6 November, Airlangga Hartarto menyampaikan sikap politiknya itu.
"Kita menyepakati bahwa politik menuju politik 2024 itu harus dipenuhi dengan gagasan dan pemikiran untuk kemajuan bangsa. Bukan politik identitas yang dapat memecah belah bangsa kita. Kita ingin politik yang inklusif menyatukan gagasan dan pemikiran untuk membuat Indonesia lebih baik sebagai partai politik yang berpengalaman," kata Airlangga.
Hanya, pernyataan Ailangga itu dinilai sebagai bentuk propaganda belaka. Sekaligus sinyal bahwa KIB tidak akan mengusung Anies Baswedan sebagai capres. "Jadi pernyataan ini punya dua sisi," ujar analis politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Andi Ali Armunanto, Senin, 7 November.
Pernyataan itu dianggap sebagai propaganda untuk mendiskreditkan Anies dengan mengasosiasikannya sebagai figur politik identitas. Atau perilaku yang berkaitan dengan politik identitas karena memang pendukung Anies adalah komunitas muslim garis keras.
"Jadi itulah yang coba ditonjolkan sebagai bentuk propaganda untuk menciptakan ketakutan di masyarakat untuk memilih Anies," urai Ali.
Pernyataan itu juga menjadi sinyal bagi kelompok koalisi NasDem bahwa KIB tidak akan mengusung figur yang sama. Mereka juga menjadikan momen untuk menciptakan polarisasi politik bahwa mereka tidak suka dengan yang terjadi pada 2019.
Juga sekaligus kode bahwa KIB akan memilih kandidat yang tidak punya sejarah identitas politik. Siapa itu? Yang tersedia sekarang hanya tiga figur capes: Anies, Prabowo, dan Ganjar. Sementara, Anies dan Prabowo sama-sama punya riwayat identitas. "Jadi kalau kita lihat, kalau bukan dua ini, siapa lagi? Pasti Ganjar," jelas Ali.
Baca Juga: Presiden Jokowi Sebut Prabowo Subianto Presiden Selanjutnya, Nasdem: Kami Bukan Partai Baperan!
Hal ini juga menjadi bargaining untuk dua partai lain yang disebut segera bergabung ke KIB. Jika itu terjadi, kemungkinan hanya dua atau tiga paket saja yang bertarung di Pilpres 2024. Sekarang yang belum jelas arahnya tersisa PDIP sehingga bisa saja yang dimaksud partai yang akan bergabung itu adalah PDIP.
"Tapi, kita juga belum tahu apakah KIB yang bergabung ke PDIP atau sebaliknya. Karena Mega (Megawati Sukarnoputri) masih mempertahankan gengsinya. Selama ini, ia yang selalu menjadi inisiator dalam proses-proses seperti itu," katanya.
"Nah sekarang kalau mereka (PDIP) bergabung ke KIB, memang agar tidak malu, ya, harus bergabung dulu baru diumumkan capresnya. Kalau diumumkan baru gabung, itu aib bagi Mega," pungkas Ali.
Bagaimana dengan Anies yang terus diserang? Menurut Ali pola kampanye saat ini ada dua, yaitu positif dan negatif. "Dan itu tidak terjadi di Anies saja," jelasnya.
Di sejumlah media online, misalnya, ada yang kelihatan sekali keberpihakan kepada Anies dengan berusaha membongkar aib Ganjar dengan memuji Anies. Kemudian beberapa jaringan surat kabar yang berafiliasi ke Anies, memberitakan positif buat Anies dan negatif bagi Ganjar.
Sebaliknya koran berafiliasi ke Ganjar juga demikian. Lalu kemudian banyak mempromosikan Ganjar dan seterusnya yang bahkan universitas di Pulau Jawa ikut juga seperti itu dengan membawa nama alumni. Itulah yang menciptakan pola-pola kampanye.
Akan tetapi, hal yang seperti ini hanya akan berefek pada pemilih baru yang mendapat informasi kurang bagus, atau kemampuan menyaring informasi yang kurang akan memengaruhi opininya. "Tapi orang yang sudah mampu menyaring informasi, akses informasi berimbang, maka tidak akan terpengaruh," tegasnya.
Pertajam Pembelahan
Di lain pihak, pernyataan Airlangga itu justru dianggap bentuk pembelahan sosial. Sebagai partai politik yang berpengalaman, sebaiknya Golkar tampil dengan gagasan yang inklusif dan menyatukan.
"Bukan mereproduksi gagasan yang telah terbukti menghadirkan pembelahan sosial, yang berkepanjangan," ujar analis politik Unismuh Makassar A Luhur Prianto.
Secara ideal, politik identitas memang tidak boleh menjadi basis memobilisasi dukungan politik dalam demokrasi yang rasional. Akan tetapi, sekarang ini makna politik identitas telah direbut dan ditafsir secara tunggal oleh kelompok politik tertentu.
Dalam perspektif pilihan rasional, stereotyping dan framing politik identitas pada satu golongan atau kelompok perlu terus dipelihara untuk merebut dan mempertahankan dukungan. Politik identitas telah menjadi identitas politik baru, yang digunakan melawan kekuatan politik yang berbeda.
"Jadi saya kira politik Pilpres 2024 harus melepaskan diri dari gagasan yang menimbulkan pembelahan sosial," pungkas dosen FISIP Unismuh Makassar itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum