Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pakar Kesehatan: Senyawa BPA Berbahaya untuk Kemasan Pangan

        Pakar Kesehatan: Senyawa BPA Berbahaya untuk Kemasan Pangan Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Anwar Daud, semakin memperkuat informasi selama ini bahwa senyawa  BPA memang berbahaya bila digunakan untuk kemasan pangan.

        Bukan cuma bisa memicu penyakit berbahaya, galon air mineral bekas pakai mengandung BPA yang lazim dicuci, disikat dan digunakan berulangkali juga menjadi sumber mikroplastik yang tak kalah berbahayanya.

        "BPA paling banyak digunakan di kemasan kaleng, makanan dan minuman, padahal berdasarkan hasil riset kesehatan yang ada sekarang, BPA adalah senyawa yang paling berbahaya di kemasan,” kata Anwar Daud  di depan peserta “Workshop Penggunaan  Bahan BPA pada Makanan dan Minuman” yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan, di Jakarta (9/11).  

        Kepala Pusat Studi Lingkungan Unhas ini memaparkan hasil penelitiannya dan juga mengangkat sejumlah hasil riset internasional tentang bahaya BPA pada kesehatan manusia dan lingkungan.

        BPA adalah bahan kimia sintetis organik yang biasa digunakan dalam  produksi industri plastik polikarbonat (PC) dan resin epoksi. “Penggunaan BPA secara global diperkirakan akan mencapai 10,6 juta metrik ton pada 2022,” kata Anwar Daud.

        “Beberapa studi biomonitoring manusia menunjukkan bahwa aplikasi BPA yang luas telah menyebabkan meluasnya paparan pada manusia, dan berdampak pula pada kesehatan manusia,” katanya, mengutip salah satu hasil riset di luar negeri. 

        “Beberapa studi epidemiologi melaporkan bahwa peningkatan kadar BPA pada urin, berhubungan dengan obesitas, gangguan kesuburan, dan penyaki kardiovaskular.” Katanya. “Paparan BPA juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker.”

        Penelitian yang dilakukan timnya juga  menyoroti penilaian risiko migrasi BPA ke daging dan produk daging, serta tingkat paparannya pada manusia. “Manusia terpapar BPA melalui rute dan sumber yang berbeda, tetapi konsumsi telah dikonfirmasi sebagai sumber utama paparan BPA,” kata Anwar Daud. 

        Anwar Daud juga mengingatkan potensi cemaran dan paparan mikroplastik dan nanoplastik, karena penggunaan plastik yang belum tergantikan. “Berdasarkan proyeksi emisi plastik hingga 2030 untuk 173 negara, mikroplastik dan nanoplastik berpotensi mencemari lingkungan perairan berkisar antara 20-53 metrik ton/tahun.” Dikatakannya, setelah memasuki lingkungan, mikroplastik dapat diangkut ke air minum, garam dapur dan makanan, seperti ikan dan sayuran melalui rantai makanan. 

        Pada air kemasan, ia mengingatkan potensi cemaran kemasan galon bekas pakai polikarbonat sebagai kontaminan lingkungan. "Tidak ada satu pun air mineral yang tidak mengandung mikroplastik, baik dari sisi kemasan maupun airnya. Terlebih lagi air isi ulang, karena galonnya dicuci dan dipakai ulang sebelum diisi selalu dicuci dengan disikat, sehingga terkelupas,” ujarnya

        Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi Produk, dan Harmonisasi Standar Pangan Olahan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Yeni Restiani mengungkapkan bahaya BPA sebagai kemasan pangan.

        ”BPA dapat bermigrasi dari kemasan ke produk pangan melalui berbagai cara, dari proses pencucian, penggunaan air pada suhu tinggi, residu detergen, dan pembersihan yang mengakibatkan goresan,” kata Yeni. “Kemudian ditambah lagi dengan penyimpanan yang tidak tepat, serta paparan sinar matahari langsung.”

        Menimbang bahaya BPA, BPOM juga telah melakukan pengkajian dengan mencermati regulasi di beberapa negara di dunia. 

        “Secara garis besar terdapat dua kelompok: Pertama, pelarangan penggunaan BPA pada kemasan pangan. Kedua adalah regulasi tentang pencantuman peringatan label bahaya BPA,” kata Yeni.

        Negara yang menerapkan pelarangan penggunaan BPA adalah Perancis, Brazil, negara bagian Vermont (Amerika Serikat) dan Columbia. Sedangkan regulasi Pencantuman Peringatan Label Bahaya BPA diterapkan oleh negara bagian California (Amerika Serikat).

        Adapun di Indonesia, kata  Yeni menambahkan, melalui peraturan BPOM Nomor 20/2019  tentang Kemasan Pangan, persyaratan batas migrasi BPA pada kemasan pastik polikarbonat adalah 0,6 bagian per juta (bpj). Sementara, temuan BPOM sepanjang periode 2021-2022  menunjukan fakta peluluhan BPA sampel galon polikarbonat bekas pakai di sarana peredaran yang tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj di Banda Aceh, Aceh Tengah, Medan, Jakarta, Bandung, dan Manado.

        BPOM kemudian bergerak lebih maju. Berdasarkan kajian BPOM dengan tim pakar, kemudian  disepakati untuk menurunkan batas migrasi BPA menjadi 0,05 ppm. “Tapi ini masih berupa draf hasil kajian, regulasi yang ada saat ini masih 0,6 bpj,” katanya.

        Sebagai upaya melindungi masyarakat, BPOM sudah menginisiai revisi Peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan. “Poinnya antara lain, air minum dalam kemasan (AMDK) galon polikarbonat wajib mencantumkan label tulisan ”Berpotensi Mengandung BPA,” kata Yeni. 

        Saat yang sama, Idham Arsyad dari Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menjelaskan, kapasitas produksi air minum kemasan 30 milyar liter per tahun, setengahnya berupa kemasan galon. 65% dikuasai market leader, 25% perusahaan menengah, dan sisanya 10% pemain kecil. “Kini, paling tidak jumlah galon yang beredar antara 30-40 juta buah di Indonesia dan lebih 90% adalah galon polikarbonat.” 

        Merespon penolakan pelabelan BPA yang dilakukan BPOM untuk melindungi konsumen, Gapmmi menawarkan alternatif penggunaan kemasan galon polietilena tereftalat (PET). “Tak perlu ditutupi, di pasaran kini juga telah banyak ditemui galon PET itu juga bisa guna ulang. Dan sebetulnya industri bisa menghemat Rp. 1,5 Trilyun per tahun, apabila beralih ke galon returnable PET. Karena harga galon guna ulang PET 50% lebih murah dibanding galon polikarbonat,” ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: