Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Albert Aries, menanggapi kekhawatiran Jaringan Masyarakat Sipil di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengenai pengaturan tentang hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat). Lalu, isu stigma dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan.
"Ketika RKUHP ini disahkan secara tergesa-gesa, akan banyak terjadi persoalan dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan," tutur Inisiator Jaringan Masyarakat Sipil Sulsel, Rosmiati Sain, Selasa (22/11/2022).
Baca Juga: Para Akademisi Berbagai Universitas Minta RUU KUHP Segera Disahkan
Menghargai pandangan dari kelompok Jaringan Masyarakat Sipil di Sulsel sebagai bentuk partisipasi publik, Jubir Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries merespons soal pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
"Ini bukan merupakan hal yang baru karena sudah ada pengaturannya dalam Pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Tujuannya sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, yang dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum (universal)," jelasnya, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Kata Albert, Delik adat yang berlaku akan ditegaskan dalam Peraturan Daerah agar memperkuat kedudukan hukum delik adat dan sekaligus memberikan kepastian hukum. Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat (Pasal 601) yang dianggap sebanding dengan Pidana Denda kategori II (Rp10 juta).
"Pengaturan ini juga sesuai pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP," ungkapnya.
"Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan, 'Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur UU'," tambahnya.
Sementara itu, isu RKUHP melakukan kriminalisasi terhadap kelompok rentan, menurut Albert, itu tidak benar karena hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan telah sesuai dengan konvensi hak sipil dan politik.
"RKUHP netral terhadap gender, termasuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara seimbang dengan cara memperkenalkan double track system, yaitu selain mengatur pidana, mengatur tindakan juga, sehingga tidak semua pelaku tindak pidana harus berakhir di penjara, serta ketentuan penodaan agama dalam RKUHP juga telah disesuaikan dengan konvensi hak sipil dan politik (ICCPR)," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum