Bela China di Hadapan Pemimpin Negara Dunia, Miliarder Bloomberg Dikritik Habis-Habisan di Negaranya Sendiri
Kredit Foto: Republika
Miliarder pendiri media Bloomberg, Michael Bloomberg merasa berutang permintaan maaf kepada orang-orang China karena menghina Beijing. Apa yang terjadi?
Rupanya, pada forum bisnis yang ia selenggarakan di Singapura awal bulan ini, mantan walikota New York dan kandidat presiden dari Partai Demokrat itu merasa terdorong untuk secara terbuka mengutuk karakterisasi pemerintah China yang dikatakan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sebagai otokrasi koersif.
Bloomberg menawarkan permintaan maafnya kepada siapa pun di forum yang mungkin tersinggung oleh pernyataan Johnson tentang negara-negara tertentu dan pemimpin mereka yang terpilih.
Baca Juga: Wafat di Usia 96 Tahun, Mantan Presiden China Punya Andil Besar buat Ekonomi Negara
Padahal, China diperintah oleh tangan besi Partai Komunis China dan sekretaris jenderalnya, Xi Jinping. Xi tidak dipilih oleh rakyat China, dia ditunjuk oleh sekelompok kecil pemimpin Partai Komunis di balik pintu tertutup, tulis postingan dari sebuah yayasan AS yang mengutamakan kemakmuran negara, bernama Heritage.
Partai Komunis China bahkan tidak berusaha menyembunyikan fakta ini karena tertulis dalam konstitusi negara.
Pernyataan Bloomberg bermasalah bagi warga negara AS karena berbagai alasan. Sebagai kepala kerajaan media dan komersial yang menguntungkan, dia melihat perusahaannya menghadapi serangkaian keluhan atas upayanya menyensor berita yang mengkritik China.
Bloomberg berusaha keras mempertahankan kepentingan bisnis yang substansialnya di China dan menyadari bahwa menghina Beijing secara terbuka dapat berakibat fatal bagi keuntungan perusahaan. Permintaan maaf Bloomberg hampir pasti ditujukan kepada pejabat China di ruangan itu, terutama Wakil Presiden Wang Qishan.
Padahal, Bloomberg dinominasikan awal tahun ini untuk mengepalai Dewan Inovasi Pertahanan AS, sebuah dewan penasehat yang dibentuk pada tahun 2016 untuk memberikan rekomendasi kepada menteri pertahanan tentang teknologi baru.
"Jadi, kepala komite yang bekerja dengan sponsor di Pentagon untuk memastikan dominasi teknologi dan militer AS berpikir bahwa Xi telah dipilih? Dan dia takut menyinggung Beijing?" kritik yayasan itu.
Bloomberg bahkan tidak takut menegur sekutus AS, hal ini bertentangan dengan sikap hormatnya kepada pejabat China.
"Ini menjadi preseden buruk dan bertentangan dengan upaya AS untuk membangun koalisi multilateral untuk mendorong kembali jangkauan China," lanjut yayasan tersebut.
Yayasan itu turut menyayangkan adanya suara terkemuka di AS tidak hanya takut menyebut China sebagai otokrasi, tetapi juga mengkritik mereka yang melakukannya, hal itu melemahkan tekad dan kepercayaan mitra, membuat pembangunan koalisi menjadi lebih menantang.
Pernyataan Bloomberg turut tidak adil bagi banyak warga China yang trauma dengan kebijakan represif Beijing. Dari kamera pengintai China yang ada di mana-mana dan penguncian COVID-19 yang kejam hingga kamp konsentrasi di Xinjiang, warga China telah menanggung beban terberat dari otokrasi koersif Xi Jinping.
Banyak yang khawatir dengan kembalinya aturan one man-rule setelah Xi membuang norma yang membatasi pemimpin untuk dua masa jabatan.
Hari ini, mahasiswa China di AS dan di tempat lain dengan berani menentang ancaman terhadap keselamatan pribadi mereka dengan berbicara dan memprotes di kampus-kampus untuk mengecam perebutan kekuasaan oleh Xi.
"Mereka pantas mendapatkan dukungan komunitas internasional, bukan meminta maaf atas kekuasaan Partai Komunis dari seorang miliarder Amerika yang istimewa yang tidak tahu bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan menindas Tuan Xi," gaung yayasan tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: