Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Centris Sebut Xi Jinping Manfaatkan ajang G20 untuk Naikkan Pamor

        Centris Sebut Xi Jinping Manfaatkan ajang G20 untuk Naikkan Pamor Kredit Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Presiden China, Xi Jinping saat ini tengah gencar-gencarnya membangun kembali diplomasi negaranya di tengah isolasi internasional paska merebaknya Virus Corona yang berasal dari negeri mereka.

        Pada 14 November lalu, Xi mengadakan pembicaraan tatap muka pertamanya dengan Presiden AS Joe Biden di sela-sela perhelatan akbar G20 di Bali, Indonesia.  

        Xi Jinping juga mengadakan pembicaraan tatap muka pertamanya dengan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida di Bangkok, pada 17 November 2022.

        Dalam pertemuan tersebut, Xi terlihat mencoba mengakrabkan diri saat berjabat tangan dengan Joe Biden dan Fumio Kishida, untuk menunjukkan kepada dunia bahwasanya China telah keluar dari isolasi internasional.

        Akan tetapi, tidak sedikit dari para pengamat melihat lebih dalam maksud Xi Jinping sebagai upaya diplomasi dalam negerinya yang saat ini tengah panas, paska ia didaulat memimpin Tiongkok untuk ketiga kalinya.

        Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) memandang langkah Xi Jinping kembali membuka diri dan menjalin kembali hubungan dengan beberapa pemimpin negara dunia, untuk menunjukkan ‘power’ kepada rakyat China yang saat ini marah kepadanya.

        Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan taktik cerdik Xi Jinping ini untuk membentuk opini, setelah melihat ada penurunan pamor dirinya sebagai pemimpin Tiongkok paska Kongres Nasional Ke-30 Partai Komunis China.

        “Lebih satu bulan paska kongres nasional ke-20 Partai Komunis China, media pemerintah Tiongkok kami mendapatkan informasi jika mereka berhenti menyebut Presiden Xi Jinping sebagai pemimpin rakyat,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jum’at, (2/12/2022).

        Istilah pemimpin atau _‘lingxiu’_ digunakan oleh Menteri Luar Negeri Wang Yi menyebut Xi Jinping, lanjut AB Solissa, memang dipandang sebagai bentuk pujian kepada Xi sebagai pemimpin partai besar dan negara besar.

        Tapi bahasa politik Wang yang unik ini, justru mencerminkan posisi Xi Jinping yang rapuh, dengan kata lain pamornya tengah turun dimata politik rakyat China.

        “Kata-kata  Wang yang menyebut Xi Jinping sebagai pemimpin negara besar sangat jauh maknanya dari sebutan pemimpin rakyat, yang tentunya mengingatkan bangsa China pada bapak pendiri Tiongkok, Mao Zedong,” tutur AB Solissa.

        Media besar negara seperti Xinhua News Agency, People's Daily, dan China Central Television, tidak memberikan alasan mengapa mereka berhenti menggunakan "pemimpin rakyat" saat menyebut Presiden Xi Jinping.

        Sejalan dengan pernyataan Wang, Xinhua, People's Daily, dan CCTV mulai menggunakan sebutan pemimpin partai besar dan negara besar saat menyebut Presiden Xi Jinping.

        Disinyalir, ini gegara kemunduran politik Xi Jinping serta memiliki hubungan dengan konstitusi partai yang telah direvisi, dimana teks lengkapnya telah dirilis empat hari setelah kongres nasional Partai Komunis China berakhir.

        “Slogan ‘dua pendirian’  yang menunjukkan kesetiaan tertinggi kepada Xi Jinping, tidak dimasukkan ke dalam teks. Ditambah bukan lagi dijuluki sebagai pemimpin rakyat China,wajar jika banyak yang menilai hal ini adalah tanda-tanda kemunduran politik Xi Jinping,” jelas AB Solissa.

        Lebih dari itu, CENTRIS memandang turunnya pamor politik Xi Jinping dapat di lihat dari situasi China saat ini, dimana rakyat Tiongkok berani melakukan demo besar-besaran meminta Xi Jinping mundur sebagai Presiden

        Presiden Xi Jinping terus mendapat tekanan setelah demonstrasi memprotes pemerintah kian sering terjadi di China belakangan ini.

        Baru-baru ini, demonstrasi yang terjadi di sejumlah kota seperti Urumqi, Beijing, hingga Shanghai bahkan terang-terangan menuntut Xi dan Partai Komunis untuk mundur.

        “Selama ini, China dikenal sebagai negara yang membungkam perbedaan pendapat. Karena itu, demonstrasi apalagi yang menuntut langsung penguasa untuk mundur hampir tidak pernah terjadi di Negeri Tirai Bambu,” ucap AB Solissa.

        Semakin meluas, demonstrasi menjalar ke beberapa kota lain di China.Tak peduli dengan tekanan aparat, massa malah makin besar menjelang malam hari. Mereka meneriakkan slogan-slogan seperti, "Xi Jinping mundur! Partai Komunis China mundur!"

        Sempat bubar di malam hari, para warga melanjutkan aksi mereka pada pagi hari bahkn unjuk rasa lainnya pecah berbagai kota di China, termasuk ibu kota Beijing.

        Di pagi hari, sekitar 200-300 mahasiswa berunjuk rasa di salah satu kampus elite di Beijing, Universitas Tsinghua. Satu video yang sudah diverifikasi AFP menunjukkan para mahasiswa berteriak, "Demokrasi dan supremasi hukum. Kebebasan berekspresi."

        “Jelas sekali, ini pertanda turunnya pamor politik Xi Jinping. Namun disisi lain, ada angin segat bagi jalannya demokrasi di Tiongkok, dimana rakyat China mulai berani melawan tirani di negeri tirai bambu tersebut,” pungkas AB Solissa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: