Pakar Temukan Asia Paling Banyak Memproduksi Sampah Plastik, Penyebabnya Luar Biasa!
Pakar Lingkungan dari Chung Nam University, Korea Selatan, Prof. Yong-Chul Jang mengatakan, sampah plastik paling banyak ditemukan di benua Asia. Dengan kontribusi mencapai 80,99 persen.
"Polusi plastik akibat salah kelola limbah sampah, paling banyak terjadi di Asia Tenggara. Wilayah lainnya adalah Asia Timur dan Asia Selatan," kata Prof. Yong-Chul dalam Workshop IV Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea bertema "Indonesia-Korea Cooperation: Synergizing A Path Towards A Circular Economy" yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Usung Sirkular Ekonomi, Pemerintah Dukung Industri Olah Sampah Plastik
Angka cemaran plastik di Asia yang melangit hingga 80,99 persen, jelas lebih tinggi ketimbang Afrika, yang hanya 7,99 persen. Disusul Amerika Selatan 5,51 persen; Amerika Utara 4,5 persen; Eropa 0,6 persen; dan Oceania 0,37 persen.
Ironisnya lagi, 10 sungai yang paling banyak menyebabkan pencemaran laut, juga ada di Asia. Lagi-lagi, Asia Tenggara menjadi yang paling banyak.
Tujuh di antaranya ada di Filipina (Sungai Pasig 6,43 persen; Tullahan 1,33 persen; Meycauayan 1,23 persen; Pampanga 0,95 persen; Libmanan 0,72 persen; Rio Grande de Mindanao 0,54 persen; dan Agno 0,47 persen). Disusul India dengan Sungai Ulhas 1,33 persen dan Gangga 0,63 persen. Serta Malaysia dengan Sungai Klang 1,33 persen.
Prof. Yong-Chul Jang mengatakan, kondisi ini tak boleh didiamkan berlarut-larut.
Karena sampah plastik yang tak tertangani dengan baik, tidak hanya berbahaya bagi lingkungan sekitar. Tetapi juga berpengaruh buruk terhadap perubahan iklim, sektor ekonomi, ekosistem atau terkait biodiversity, dan keamanan pangan.
Faktanya, berdasarkan riset tahun 2015, lautan sampah plastik telah merugikan sektor pariwisata, perikanan, dan kelautan negara-negara APEC hingga sebesar 10,8 miliar dolar Amerika Serikat.
Sementara kerusakan yang ditimbulkan sampah plastik terhadap ekosistem laut, diperkirakan mencapai 13 miliar dolar AS.
"Di pasar ikan Makassar, sampah ditemukan pada 28 persen ikan dan 55 persen spesies yang diambil sampel," jelas Prof. Yong-Chul.
Menurutnya, kondisi ini dipicu oleh masih banyaknya negara, yang menerapkan ekonomi linier. Mereka mengekstraksi sumber daya alam, lalu melakukan kegiatan produksi secara masif. Kemudian dikonsumsi secara besar-besaran, dan dibuang secara massal.
Pembuangannya, didominasi oleh penimbunan atau tanpa diolah sama sekali, dengan angka 79 persen. Yang diolah dengan mesin insinerasi 12 persen. Sementara yang didaur ulang, cuma 9 persen.
"Sudah saatnya, kita beralih ke ekonomi sirkular, yang menerapkan eco design sejak proses mendapatkan bahan baku, kegiatan produksi, hingga siap dikonsumsi. Setelah menjadi sampah, produk harus diklasifikasi sebelum didaur ulang dengan eco design. Hingga selanjutnya kembali mengikuti siklus," papar Prof. Yong-Chul.
Baca Juga: Pemkot Tangsel Ajak Pengusaha Kurangi Sampah Plastik
Penggunaan plastik yang dibatasi dan material daur ulang, ditujukan untuk mengatasi hambatan teknis seperti aditif dan bahan kimia, serta hambatan ekonomi seperti rendahnya kualitas dan tingginya biaya perawatan.
Juga hambatan sosial seperti tingkat pengumpulan sampah yang masih rendah dan minimnya kepedulian terhadap lingkungan hidup.
"Masalah ini juga banyak dialami oleh negara berpenghasilan tinggi. Mereka berupaya mengatasinya melalui penerapan ekonomi sirkular plastik," cetus Prof. Yong-Chul.
"Karena itu, pengembangan kerja sama internasional untuk mengatasi limbah plastik di laut dan sungai, demi menjaga ekosistem, adalah hal yang sangat mendesak," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto