GAPMMI: Pilih Alternatif Air Minum Kemasan Galon yang Bebas BPA
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) yang beranggotakan 400 perusahaan makanan dan minuman berkomitmen menjamin keamanan produk pangan mereka di Indonesia.
GAPMMI menegaskan, konsumen perlu memilih alternatif air minum kemasan galon sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET) yang lebih aman, dan meninggalkan galon plastik guna ulang yang bercampur senyawa berbahaya Bisphenol A (BPA).
Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman mengatakan bahwa galon plastik berbahan dasar PET yang telah banyak digunakan oleh industri air minum dalam kemasan (AMDK), adalah alternatif yang bukan hanya memiliki nilai keamanan dan kesehatan lebih tinggi, namun juga lebih ekonomis.
Di luar galon, saat ini seluruh produsen AMDK botol, baik market leader maupun produsen kecil dan menengah, semua menggunakan plastik jenis PET.
"Galon berbahan plastik jenis PET mampu menghemat biaya produksi secara signifikan yang pada akhirnya memacu pertumbuhan industri AMDK, tak terkecuali industri kecil menengah,” katanya, seperti dikutip dari rilisnya awal pekan ini.
Berdasarkan data GAPMMI, industri air minum dalam kemasan sebetulnya mampu menghemat biaya produksi hingga Rp1,5 triliun per tahun, utamanya jika beralih menggunakan galon dari jenis plastik PET.
Produksi galon PET terbukti lebih murah 50 persen dibanding produksi galon guna ulang BPA yang lebih banyak menggunakan bahan impor.
Adhi mengatakan, keputusan pemerintah untuk mewajibkan pelabelan galon bekas pakai tentu berdasarkan kajian yang mendalam. Hal itu juga dilakukan untuk melindungi konsumen.
Kajian BPOM dilakukan dengan mengacu pada penerapan regulasi serupa di negara-negara maju, yang sudah lebih dulu menerapkan larangan dan memperketat penggunaan BPA sebagai campuran bahan kemasan pangan.
"Label berupa peringatan tentang kandungan BPA, adalah usaha untuk memberikan kepastian bagi konsumen dalam mengonsumsi produk yang terjamin keamanan dan kesehatannya,” kata Adhi.
"Karenanya, GAPMMI mengajak industri untuk saling berkolaborasi menciptakan alternatif- alternatif kemasan yang lebih aman,” paparnya.
Saat ini ada 1.200 pelaku industri air minum dalam kemasan, dengan volume air minum 35 miliar liter per tahun, 2.100 merek dan 7.000 lebih izin edar.
Market leader menguasai 65 persen pasar air minum kemasan, disusul 25 persen industri menengah, dan sisanya 10 persen dikuasai para pelaku usaha kecil.
"Ada 30-40 juta galon yang beredar di Indonesia saat ini, sebanyak 90 persen adalah galon guna ulang bercampur BPA yang berbahaya buat kesehatan,” katanya.
Adhi mengatakan, GAPMMI siap mendukung setiap langkah pelaku usaha untuk terus maju seiring dengan perkembangan teknologi.
Dikatakannya, semua pelaku usaha selayaknya mematuhi ketentuan yang dikeluarkan pemerintah, dan selalu berpikir positif demi mendukung pertumbuhan industri air minum kemasan.
Senada dengan GAPMMI, Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) menilai positif regulasi pelabelan pada kemasan galon plastik bekas pakai.
Regulasi BPOM untuk mencantumkan label peringatan pada galon bekas pakai yang mengandung BPA, justru akan menyehatkan iklim industri air minum kemasan.
"Kami selaku pengusaha AMDK meyakini, pelabelan ini tidak akan mengganggu pertumbuhan industri. Itu sebabnya, kami mendukung penuh regulasi pelabelan galon BPA yang dikeluarkan oleh BPOM,” kata Ketua Umum Asparminas, Johan Muliawan.
Menurut Johan, permintaan air minum dalam kemasan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di Indonesia.
“Sebagai pelaku industri, kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas produk air minum dalam kemasan,” katanya. “Pelabelan galon BPA ini kami sikapi sebagai pemacu untuk berinovasi dan menciptakan produk AMDK berkualitas, baik dari sisi kesehatan maupun keamanan kemasan,”
Johan juga menginformaskin, saat ini di luar galon polikarbonat (PC), banyak perusahaan besar AMDK yang sudah mulai beralih memproduksi galon plastik dari jenis PET.
"Galon PET memiliki fungsi sama, namun dengan harga bahan baku yang relatif lebih murah dan sehat,” katanya.
Sebagai bukti, bahan dasar polikarbonat yang biasa didatangkan melalui impor harganya jauh lebih mahal, yakni sekitar USD 4 dolar per kg, sebaliknya bahan bebas BPA banyak tersedia di dalam negeri dan harganya cuma USD 1 dolar AS per kg.
Sebelumnya, Arie Susanto, praktisi yang mewakili GAPMMI dalam acara forum temu pakar dan praktisi di Universitas Indonesia, Depok, mengatakan bahwa kebijakan regulasi BPOM untuk pelabelan galon bekas pakai justru akan menguntungkan semua pihak, baik pihak produsen maupun pihak konsumen.
"Kebijakan yang diambil pemerintah melalui BPOM diyakini akan menguntungkan semua pihak, baik pelaku usaha maupun konsumen air minum,” kata Arie Susanto, saat menjadi narasumber pada acara pertemuan, “Expert Forum: Urgensi Pelabelan BPA pada Produk Air Minum dalam Kemasan untuk Keamanan Konsumen" di Gedung Makara, Universitas Indonesia, Depok (23/11).
"Di satu sisi, konsumen akan mendapatkan kepastian untuk mendapatkan produk yang terjamin keamanannya dan tidak membahayakan kesehatan konsumen,” katanya. “Di sisi lain, pelaku usaha juga tetap terjamin keberlangsungan usahanya dengan mengikuti aturan pelabelan pemerintah.”
Arie mengatakan, industri air minum kemasan akan terus tumbuh, mengikuti kebutuhan masyarakat yang juga terus meningkat.
"Karenanya, pelabelan galon guna ulang perlu dilakukan, agar konsumen mendapatkan kepastian untuk memanfaatkan produk yang dijamin keamanan dan kesehatan pangannya,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: