Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Anggota DPR Sebut Pemerintah Tidak Serius akan Regulasi EBT

        Anggota DPR Sebut Pemerintah Tidak Serius akan Regulasi EBT Kredit Foto: Instagram/Mulyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Telah selesainya perhelatan G20 di Bali pada akhir November lalu yang mengangkat tema besar terkait Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bertolak belakang dengan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan regulasi akan energi bersih tersebut.

        "Kita melaksanakan G20 yang tema besarnya terkait dengan EBT, namun saya melihat pemerintah terkait regulasi EBT ini tidak serius," ujar Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto dalam diskusi di kawasan Senayan, Rabu (14/12/2022).

        Bukan hanya tidak serius dalam membentuk regulasi akan EBT, Mulyanto juga menilai pemerintah sudah melanggar Undang-undang tentang peraturan pembentukan perundangan.

        Baca Juga: Menuju NZE, Indonesia Jangan Sekadar Menari di Tengah Tepukan Genderang Negara Lain

        Hal tersebut tertera dalam UU nomor 13 tahun 2022 yang disebutkan bahwa UU itu setelah disahkan oleh paripurna disampaikan kepada Presiden dan dalam waktu 60 hari Presiden menerbitkan Surpres yang dilampiri dengan daftar inventaris masalah (DIM). 

        "Itu sudah lewat dari 60 hari, bahkan hari ini sudah 120 hari lebih, pemerintah menyerahkan Surpres tapi enggak ada DIM-nya," ujarnya. 

        Lambannya pemerintah dalam menyerahkan DIM tersebut menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam pembentukan regulasi yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBT).

        "Jadi menurut saya tidak serius terhadap pengaturan mengenai energi baru dan terbarukan, lalu apakah ini akan jadi cacat hukum karena DIM-nya terlambat, ya ini yang jadi perhatian kita," ungkapnya.

        Mulyanto mengatakan berdasarkan informasi yang ia terima, terlambatnya penyerahan DIM terjadi karena pemerintah berkehendak memasuki satu pasal terkait dengan power wheeling yang kemudian terjadi perdebatan di internal pemerintah.

        Adapun power wheeling sendiri bahasa sederhananya privatisasi jaringan transmisi listriknya PLN, dengan kata lain jaringan transmisi yang selama ini natural monopoli PLN boleh digunakan dengan bayar tarif tertentu.

        "Sehingga biasanya kan dan sudah menjadi amanat Undang-undang, PLN yang mengusahakan listrik, itu kan multiproduser tapi single buyer, jadi PLN yang beli dan PLN yang mendistribusikan, dan kalau dengan power wheeling, pembangkit bisa masuk langsung ke dalam jaringan dan kemudian dia juga bisa langsung ambil untuk beli, jadi PLN nanti seperti penjaga tol saja, numpang lewat saja di jalur itu walaupun masih bayar," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: