Sejarah baru sedang diukir di Sawahlunto, Sumatra Barat, Selasa (20/12/22) lalu. Hari itu, di tengah teriknya matahari yang memanggang Sawahlunto, Menteri BUMN Erick Thohir memecah kendi tanda dimulainya pengoperasian kembali lokomotif uap tua seri E1060 buatan Jerman yang sempat mati suri sejak 2014.
Sebelumnya, lokomotif berwarna hitam legam yang dikenal dengan sebutan Mak Itam itu sempat berderak selama 5 tahun sebagai kereta wisata di jalur Sawahlunto - Muarakalaban sepanjang 4 kilometer, termasuk merayap melewati terowongan sepanjang 828 meter.
Baca Juga: Prestasi di BUMN Cemerlang, Melesatkan Elektabilitas Erick Thohir
Jalur kereta api Sawahlunto - Muarakalaban adalah saksi bergeraknya peradaban Minangkabau sejak ditemukannya endapan batubara sebanyak 200 juta lebih di tepi sungai Ombilin oleh geolog Belanda pada 1816.
Sejak itu, peradaban Sawahlunto berderak sebagai kota tambang batubara. Sebagai bagian dari peradaban itu, lokomotif Mak Itam awalnya juga berfungsi sebagai kereta pengangkut batubara. Kereta itu baru pensiun pada akhir 2000 seiring menyusutnya produksi batubara di sana.
Romansa sejarah itulah yang ingin dihidupkan kembali oleh Erick Thohir lewat pengoperasian kembali Mak Itam. Apalagi, sejak 2019 Sawahlunto dan jalur rel keretanya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia baru.
Untuk menghidupkan kembali lokomotif legendaris Mak Itam, dana yang dikucurkan mencapai Rp20 miliar. Empat BUMN ditugaskan berkolaborasi: PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Bio Farma (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Semen Indonesia (Persero).
Untuk memperbaiki Mak Itam, KAI mendatangkan tim ahli lokomotif uap dari museum kereta api Ambarawa untuk menangani lokomotif bersejarah itu. Hasilnya, Mak Itam dapat beroperasi lebih ceat dari target semula pada Januari 2023.
Selain lokomotif, KAI melakukan perbaikan pada jalur rel, dua unit jembatan, terowongan, persinyalan, bangunan stasiun yang telah menjadi museum, dan depo.
Baca Juga: Erick Thohir Punya Bekingan Pendukung Jokowi Buat Maju Jadi Cawapres 2024, Jumlahnya Nggak Main-main
Bagi Erick, pengaktifan kembali Kereta Api Mak Itam adalah langkah awal kebangkitan wisata lokal di Sumatera Barat.
"Saya terus mendorong aset-aset bersejarah milik BUMN bisa dihidupkan agar memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Ini juga bisa mendorong UMKM dan pariwisata bisa tumbuh sehingga ikut mendongkrak perekonomian daerah," kata Erick hari itu.
Bagi Erick, selama ini wisata lokal terkesan selalu dianaktirikan. Tak terurus dengan baik.
Baca Juga: Erick Thohir Tak Terkalahkan Jadi Cawapres Terkuat Jelang Pemilu 2024, AHY Apa Kabar?
"Mau kemana kalau kita sebagai bangsa besar tetapi tidak mencintai dan melayani bangsanya sendiri," tambah Erick.
Karena itu, Erick berpesan kepada seluruh kepala daerah untuk membangun ekosistem wisata bersama. Tidak terkotak-kotak hanya di daerah masing-masing, namun berkolaborasi saling mendukung.
"Jangan berpikir, oh, ini Bukit Tinggi, oh, ini Sawahlunto. Tidak bisa begitu," tambahnya.
Erick paham benar, aset-aset bersejarah jika dikelola dan diurus dengan baik, dapat membangkitkan pariwisata lokal dan menghidupi masyarakatnya. Karena itu, kata Erick, pihaknya sedang fokus untuk mengembangkan aset-aset bersejarah agar bermanfaat bagi masyarakat.
Ia mencontohkan seperti program revitalisasi Pura Mangkunegaran di Solo, juga Krakatau Park di Bakauheni, Lampung.
Erick tak lupa berpesan agar apa yang telah dihidupkan kembali itu dapat dijaga keberlanjutannya. Jangan hanya pandai membangun, tapi tak bisa merawatnya. Erick meminta persepsi itu diubah, dimulai dari Sawahlunto.
"Ini kebangkitan pariwisata Sawahlunto, mudah-mudahan juga menjadi kebangkitan wisata di Sumatera Barat," kata Erick.
Baca Juga: Topcer! Pemilih Jokowi-Ma’ruf Pindah Haluan Pilih Ganjar Pranowo-Erick Thohir
Hari itu, lewat tangan dingin Erick Thohir, sang legendaris Mak Itam seolah menjadi saksi dimulainya sejarah baru wisata lokal Sawahlunto.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ayu Rachmaningtyas Tuti Dewanto
Editor: Aldi Ginastiar