Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Diskriminasi Berujung Kerusuhan GNI, Kebijakan Pemerintahan Jokowi Disorot Tajam: Keterlaluan...

        Diskriminasi Berujung Kerusuhan GNI, Kebijakan Pemerintahan Jokowi Disorot Tajam: Keterlaluan... Kredit Foto: Twitter
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua Umum Komite Sarekat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat menyorot tajam kerusuhan di PT GNI pada Sabtu, (14/1/2023).

        Dirinya mengatakan bahwa kerusuhan tersebut sudah sangat jelas akibat adanya ketimpangan antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing.

        Baca Juga: Tenaga Kerja Indonesia Disalahkan Soal Kerusuhan GNI, Loyalis Anies: Penjajahan, Katanya Merdeka...

        Salah satunya adalah bagaimana kebijakan terkait hak buruh yang berbeda antara kedua belah pihak yang terkesan diskriminatif.

        Bahkan tak tanggung-tanggung, Jumhur mengatakan bahwa kuatnya kebijakan yang memihak tenaga kerja asing tersebut sudah seperti negara dalam negara.

        "Kejadian ini jauh sebelumnya memang sudah dapat diduga karena kebijakan pemerintah tentang pembiaran derasnya tenaga kerja asing (TKA), khususnya dari China memang sudah sangat keterlaluan. Kawasan industri yang terjadi di berbagai wilayah tanah air, termasuk di Morowali Utara sudah seperti 'negara dalam negara','' kata Jumhur Hidayat, Senin (16/1/2023) pagi.

        Menurut dia, di kawasan-kawasan industri milik China itu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa upah TKA China besarnya berkali-kali lipat lebih banyak dari upah pekerja lokal untuk jenis pekerjaan yang sama. Belum lagi fasilitas lebih bagus yang diberikan kepada TKA dengan alasan mereka orang asing. 

        Baca Juga: Lebih Urusi Pendapatan Dibanding Atasi Bencana, Rezim Jokowi Dikuliti Ulama: Peradaban Tipu Daya...

        "Beberapa aturan termasuk aturan ketenagakerjaan boleh dibedakan dengan aturan yang pada umumnya berlaku di wilayah Indonesia, atau sengaja diubah demi investor dari China itu. Hal itu seperti aturan pajak dan aturan tidak boleh diskriminatif terhadap pekerja. Selain itu, juga adanya aturan ekspor hasil tambang wajib dijual dengan harga murah ke smelter-smelter yang notabene sekitar 90 persen milik China,'' kata Jumhur menegaskan.

        Adapun yang dirasa menjadi penyebab ketegangan, lanjut Jumhur, adalah karena puluhan ribu pekerja asing (TKA) tidak berpendidikan layak atau pekerja kasar ternyata bisa menjadi pekerja di kawasan itu. Namun, mereka eksklusif karena tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal akibat tidak diwajibkan berbahasa Indonesia, seperti aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya.  

        Baca Juga: Risiko Majukan Ganjar Pranowo, Megawati Bisa-bisa Disingkirkan Jokowi: PDIP Diambil Alih...

        "Melihat keadaan ini maka suatu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan audit, baik regulasi maupun pelaksanaan regulasi terkait dengan investasi dari China tersebut. Hal ini karena sungguh sangat merugikan, baik bagi pendapatan negara maupun dalam bidang ketenagakerjaan,'' kata Jumhur.

        Selain itu, Jumhur juga menanyakan mengenai keuntungannya bagi rakyat Indonesia bila dalam investasi dari China ternyata bahan-bahan pembangunan pabrik dan mesinnya langsung diimpor dari China. Apalagi, perusahaan mereka mendapatkan aturan bebas pajak atau tidak bayar pajak (tax holiday) bisa sampai 25 tahun.

        Baca Juga: Bentrok Berdarah Terjadi Antar Kelompok Karyawan di Insiden GNI, PKS Dorong Pemerintah Evaluasi Hilirisasi Nikel

        "Perusahaan asal China itu juga diperbolehkan membawa TKA kasar, yang upahnya berkali-kali lipat dibanding upah lokal. Keuntungan usahanya pun sepenuhnya menjadi milik perusahaan China. Phak Indonesia paling hanya kebagian sewa tanah dan penyerapan pekerja murah. Sementara itu, setelah mengeruk kekayaan luar biasa yang ditinggalkan adalah lingkungan hidup yang rusak,'' katanya menegaskan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: