Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kasus Morowali dan Asingnya Pekerja Dalam Negeri di Tanah Air Sendiri

        Kasus Morowali dan Asingnya Pekerja Dalam Negeri di Tanah Air Sendiri Kredit Foto: PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI)
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Demonstrasi berujung maut di PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tenggara, menarik perhatian publik belakangan. Insiden yang terjadi pada Sabtu, 14 Januari 2023, ini menewaskan dua orang, seorang TKA China dan seorang TKI asal Parepare.

        Beredar kabar bahwa bentrok dipicu oleh penganiayaan oleh TKA China terhadap TKI. Atas informasi ini, PT GNI merilis pernyataan resmi yang membantah dugaan penganiayaan.

        “Perusahaan menyatakan bahwa pemberitaan terkait pemukulan atau penganiayaan oleh Tenaga Kerja Asing asal Tiongkok terhadap Tenaga Kerja Indonesia yang marah di media, termasuk isu terkait adanya kekerasan terhadap pekerja perempuan di GNI, merupakan hal yang tidak benar,” demikian penjelasan Perusahaan pada laman resminya, Senin (16/1/2023).

        Baca Juga: Kebakaran Crane Hingga Bentrok TKI vs TKA China, Wakil Ketua DPRD Morowali Utara: PT GNI Bermain-main dengan Aturan!

        Tak jauh berbeda, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan kisruh di Smelter GNI merupakan imbas dari viralnya unggahan yang mengesankan terjadi pemukulan oleh TKA China terhadap TKI. Akibatnya, para pekerja terprovokasi dan kemudian melakukan penyerangan.

        “Bentrokan yang terjadi di perusahaan smelter GNI dipicu adanya provokasi yang muncul karena ajakan mogok kerja dan ada beberapa peristiwa terkait masalah industrial yang saat itu sedang dirundingkan,” kata Sigit, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Senin (16/1/2023).

        Sikap Sigit memancing pertanyaan publik, salah satunya pengamat politik Rocky Gerung.

        Menyimpulkan insiden Morowali sebagai kasus yang dipicu oleh provokasi, menurut Rocky Gerung, menunjukkan bagaimana Sigit lebih melihat kasus sebagai tindakan kriminal, alih-alih memahaminya sebagai problem struktural.

        Dia mengakui merupakan hak Polri untuk melihat kasus dari perspektif kriminalitas. Namun, insiden Morowali pada dasarnya sarat dengan isu ekonomi, sosial, dan politik.

        “Karena tidak mampu melihat penyebab strukturalnya, maka dicari penyebab yang sifatnya kriminal,” ujar Rocky Gerung, dalam salah satu video di kanal YouTube-nya, Selasa (17/1/2023).

        Di kesempatan terpisah, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menjelaskan insiden Morowali terjadi lantaran kebijakan pemerintah tak berpihak pada rakyatnya sendiri. Malah, pemerintah cenderung menunjukkan keberpihakannya terhadap pekerja asing.

        Pemerintah membiarkan pekerja asing, dalam konteks ini TKA China, mendominasi ekosistem pekerjaan. Masalahnya, TKA China tak hanya menguasai posisi profesional, tetapi juga pekerjaan kasar yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja dalam negeri.

        “Saya kira, bila TKA masuk ke suatu negara dan mengambil pekerjaan dari warga lokalnya, maka konflik atau bentrok pasti terjadi,” jelas Achmad.

        Kerentanan Pekerja Indonesia

        Kasus Morowali terbilang memperlihatkan kerentanan yang dialami para pekerja Indonesia. Pasalnya, meski kasus diduga berasal dari keresahan TKI yang menuntut persamaan hak kerja, namun kehadiran pejabat negara di tengah TKI terbilang minim.

        Misalnya, ketika Bupati Morowali Utara Delis Julkarson Hehi diberi kesempatan untuk menceritakan kasus PT GNI dari sudut pandangnya di Indonesia Lawyers Club, Kamis (19/1/2023), jawaban Delis cenderung lebih berpihak pada TKA China.

        Dia menjelaskan bahwa dirinya tak melihat adanya kesenjangan di lapangan. Malah, kata dia, TKA China memiliki bobot beban kerja yang lebih berat dari TKI.

        “Mereka kerja nonstop. Pulang kerja juga mereka wajib masuk mes dan tidak boleh keluar. Jadi, kalau dibilang TKA senang, kalau melihat kondisi lapangan, saya kira justru pekerjaan mereka berat,” papar Delis.

        Di sisi lain, Achmad menyindir kelompok elite negara yang terkesan lebih mementingkan politik dan abai dengan problem genting di Morowali. Pasalnya, para elite negara sibuk dengan berbagai agenda politik untuk menyambut Pemilu 2024.

        “Pertanyaan yang muncul dengan apa yang terjadi di Morowali adalah di mana peran negara berada? [Bukannya] negara harus hadir menciptakan keamanan dan kenyamanan untuk semua?” kata Achmad.

        Absennya pemerintah dalam kasus Morowali juga diungkapkan oleh Perwakilan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Wilayah Morowali Utara Katsaing. Menurut dia, ketika Serikat Pekerja tengah berjuang menghadapi PT GNI, pemerintah setempat tak menunjukkan batang hidungnya untuk membantu mereka.

        “Padahal, jika kami belum paham, tentu pemerintah ini yang harus memberikan pemahaman kepada kami, mana yang keliru, mana yang masih kurang. Persoalan-persoalan ini yang tidak diluruskan oleh pemerintah setempat, baik itu Disnaker Kabupaten Morowali maupun Disnaker Provinsi Sulawesi Tengah,” akunya.

        Melihat Insiden Morowali dari Kacamata Makro

        Achmad berargumen insiden Morowali bukan kasus yang sifatnya berada di level mikro. Keberpihakan pemerintah terhadap TKA China menunjukkan akar permasalahan berada di dalam sistem. Artinya, konflik ini merupakan persoalan makro yang membutuhkan perbaikan dari segi kebijakan pemerintah.

        Argumen senada juga diungkapkan oleh eks Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Dalam dialog di Indonesia Lawyers Club, Kamis (19/1/2023), Said berpendapat konflik Morowali merupakan hasil bom waktu yang meledak akibat kebijakan ‘karpet merah’ oleh pemerintah.

        Kebijakan ‘karpet merah’ itu sendiri merujuk pada sikap pemerintah yang memberikan keistimewaan kepada pihak-pihak tertentu yang dibungkus dengan kata ‘investasi’. Akibatnya, muncul ketidakadilan yang dialami rakyat dan membuat rakyat seolah terjajah.

        Tradisi keberpihakan negara kepada asing disebut telah berlangsung di Indonesia sejak era Orde Baru. Achmad mengungkit Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari yang juga dipicu oleh persoalan ketidaksetaraan penanaman modal asing. Baik Peristiwa Malari maupun kasus Morowali sama-sama terjadi karena pekerja lokal memperjuangkan kesamaan hak dengan pekerja asing. Kasus Morowali yang terjadi 49 tahun setelah Peristiwa Malari menunjukkan Indonesia masih terjebak dalam kuasa hegemoni asing.

        Bila pemerintah terus tunduk pada kontrol hegemoni asing, maka peristiwa sejenis ini masih berpotensi untuk terjadi di waktu-waktu mendatang. “Manakalanya akar kejadian ini sama, kejadian ini akan terus berulang,” ungkap Achmad.

        Said menegaskan pemerintah perlu membedakan investasi dengan menjual negara. Investasi perlu memenuhi empat kondisi, yakni ketika uang dari pihak luar digunakan untuk membuka lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, mendongkrak pendapatan, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Bila keempat kondisi itu tidak terpenuhi, terlebih rakyat yang menjadi korban, maka negara bukan sedang menggencarkan investasi, melainkan menjual negara kepada pihak asing.

        “Saya betul-betul berharap pemerintah menggunakan kasus ini untuk mengevaluasi semua kebijakan agar tidak terjadi lagi,” ujar Said.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Imamatul Silfia
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: