Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Anggota Dewan: Pembahasan RUU Kesehatan Jangan Terburu-Buru, Harus Berbasis Kajian

        Anggota Dewan: Pembahasan RUU Kesehatan Jangan Terburu-Buru, Harus Berbasis Kajian Kredit Foto: Andi Hidayat
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masih terus menuai polemik, termasuk dari kalangan anggota dewan sendiri. Terbaru, Anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati menyebut, RUU Kesehatan ini harus dikaji secara hati-hati. 

        Menurutnya, harus dipikirkan secara matang kalau ada omnibus RUU Kesehatan. Karena dampaknya bukan hanya untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan saja, tapi juga juga terhadap variabel kesehatan lainnya seperti bidan, perawat, dan sebagainya.

        “Jadi pembahasan ini benar-benar harus dikaji secara hati-hati, apakah perlu menggunakan omnibus untuk melakukan satu perbaikan dalam UU sistem kesehatan kita? Saya rasa RUU Kesehatan Omnibuslaw ini tidak perlu, harusnya hanya sampai Peraturan Pemerintah (PP),” tutur Kurniasih.

        Lebih lanjut ia mengatakan, untuk memenuhi amanah UUD 1945 bahwa negara memberikan layanan kesehatan terbaik, bahwa setiap rakyat Indonesia berhak hidup sehat, tidak harus menggunakan RUU Omnibus. 

        Kurniasih juga merinci bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak terkait secara langsung dengan sistem kesehatan kita, sebab iurannya dibayarkan oleh peserta, oleh pekerja. Sehingga tak ada urgensinya untuk diatur sedemikian rupa dan harus berdampak pada RUU Kesehatan ini.

        “BPJS Ketenagakerjaan ini bidangnya ketenagakerjaan, bukan bidang kesehatan. Lalu yang jadi pertanyaan banyak pihak, kenapa harus ikut-ikutan diubah dan dimasukan ke dalam RUU Kesehatan Omnibus,” ungkap Kurniasih.

        “Jangan sampai nantinya lembaga BPJS ini arahnya ke komersialisasi, kemudian jangan sampai geraknya dibatasi, karena BPJS ini langsung melayani kepada masyarakat,” tegas Kurniasih. 

        Undang-Undang Harus Berbasis Kajian

        Dalam BPJS Ketenagakerjaan terdapat manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibutuhkan pekerja ketika terjadi PHK, lalu ada juga Jaminan Pensiun (JP) yang dibutuhkan pekerja ketika terjadi pensiun. Dikhawatirkan mata birokrasinya akan panjang sehingga pelayanannya akan menurun ketika nanti RUU Kesehatan disahkan. BPJS Ketenagakerjaan harus melapor ke Kementerian dulu lalu ke Presiden. Peserta/Pekerja yang akan mendapat JHT akan lama prosesnya.

        Begitu  juga dengan BPJS Kesehatan yang pelayananya harus cepat. Misalnya BPJS Kesehatan mau membayarkan klaim dari rumah sakit A, jika RUU Kesehatan ini disahkan, maka harus melapor dulu ke kementerian, lalu ke presiden, maka semakin panjang birokrasinya.

        Dengan begitu, yang muncul bukan semangat debirokratisasi, tapi sentralisasi. Birokrasi dipastikan jadi semakin panjang, pelayanan menurun, dan ujungnya merugikan rakyat Indonesia.

        “Jangan membuat layanan BPJS buruk dengan adanya RUU Kesehatan yang tidak berbasis kepada kajian. Saya sangat menyayangkan kalau pembahasan RUU Kesehatan dibahas secara terburu-buru oleh Badan Legislatif (Baleg),” tegas Kurniasih.

        Setiap Undang-Undang, lanjutnya, harus berbasis kajian yang mendalam, apalagi soal sistem Kesehatan. Sebab sistem kesehatan ini menyangkut nyawa manusia dan menyangkut pelayanan kesehatan rakyat. “Kita mengimbau kepada DPR juga kepada pemerintah hati-hati dalam membahas RUU Kesehatan Omnibus ini,” pungkasnya.

        Kementerian Menjadi Super Power

        Hal senada diungkap Irma Suryani Chaniago, Anggota Komisi IX DPR RI. Ia mempertanyakan, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan itu bertanggung jawab langsung kepada presiden, kenapa dengan adanya RUU Kesehatan ini lembaga BPJS jadi di bawah Kementerian? Dengan begitu, dikhawatirkan kementerian menjadi super power.

        Dia menyebut, BPJS Ketenagakerjaan tidak ada kaitannya dengan Kementerian Kesehatan, jadi untuk apa pemerintah mengatur BPJS Ketenagakerjaan di dalam RUU Kesehatan. Kecuali kalau ada kewenangan kolegium, baru boleh diatur Kemenkes.

        “Contohnya, kita masih sulit mendapat dokter spesialis, kemudian kawan-kawan kita yang sudah lulus mau praktek sulit, itu oke lah direformasi dan diatur kementerian. Tapi kalau BPJS Ketenagakerjaan apa urusannya dengan bidang kesehatan?,” ujarnya.

        Selain itu, ungkap Irma, kalau lembaga BPJS di bawah kementerian, maka siapa nanti yang akan mengontrol. Kementerian tidak boleh mengumpulkan dan mengelola  iuran rakyat, sedangkan yang namanya BPJS itu uang rakyat. Nanti bagaimana dengan sistem auditnya. 

        “BPJS itu kan mengelola uang rakyat yang keuntungannya untuk kesejahteraan peserta, nah kalau RUU Kesehatan ini disahkan, nanti yang mengelola uang rakyat itu kementerian. Kementerian gak boleh mengelola uang rakyat, kementerian hanya mengelola APBN. Menurut saya, BPJS itu gak usah dimasukin ke RUU Kesehatan. Biarkan BPJS menjadi lembaga independen saja yang bertanggung jawab langsung kepada presiden,” tutup Irma.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: