Omnibus Law Sektor Jasa Keuangan dinilai dapat memperkuat kemampuan pelaku industri menghadapi berbagai skenario keuangan, mulai dari tantangan global hingga mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Managing Partner of Hanafiah Ponggawa & Partners (Dentons HPRP), Sartono, dalam Seminar "Dentons HPRP Law and Regulations Outlook 2023: Omnibus Law Sektor Keuangan: Tantangan dan Antisipasi", mengatakan Omnibus Law atau Undang Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) mengatur beberapa hal yang sangat krusial.
Baca Juga: Wakil Sri Mulyani Beberkan Alasan Pemerintah Getol Reformasi Sektor Keuangan seperti Lewat UU P2SK
"UU P2SK, diharapkan dapat memperkuat tata kelola dan peningkatan kepercayaan publik, untuk kesejahteraan dan perlindungan konsumen," kata Sartono, Rabu (22/2/2023).
Sartono mengatakan seminar digelar untuk peringatan HUT Dentons HPRP ke-33 tahun berkiprah di Indonesia, sejak didirikan tahun 1990. Seminar ini diharapkan menjadi kontribusi positif Dentons HPRP kepada publik sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Di tempat yang sama, saat menyampaikan keynote speech-nya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dalam mereformasi sektor keuangan, melalui UU P2SK mengacu kepada lima pilar. Pertama, memperkuat kepercayaan kepada lembaga industri jasa keuangan.
Kedua, logika mengenai digital dan inovasi sektor keuangan. Ketiga, menciptakan upaya mendorong akumulasi dana jangka panjang. Keempat, perlindungan negara terhadap konsumen produk keuangan. Kelima, literasi dan inklusi sektor keuangan.
Ekonom Senior INDEF Aviliani menyoroti pentingnya koordinasi regulasi sektor keuangan dengan sektor ril. Dia mencontohkan saat pandemi COVID-19, OJK merilis retrukturisasi kredit dan pembiayaan, tetapi sektor ril tidak tumbuh sehingga tidak dapat memanfaatkan fasilitas itu.
"Contoh lain ada regulasi penyaluran kredit minimal 30% ke UMKM. Namun, sektor ril tidak ada pertumbuhan kinerja UMKM, sehingga kredit tidak diserap UMKM," katanya.
Sementara itu, Analis Eksekutif Senior Departemen Hukum OJK, Greta Joice Siahaan, merangkum prioritas OJK dalam lanscape reformasi sektor keuangan dalam UU P2SK, yaitu kebijakan spin off dan konsolidasi unit usaha syariah bank, perusahaan asuransi, dan perusahaan penjaminan.
Baca Juga: Genjot Investasi, Sri Mulyani Sebut UU Cipta Kerja, P2SK, hingga HPP Jadi Senjata Pemerintah
"Persiapan implementasi penjaminan polis yang harus dibentuk tahun 2028, penguatan pengawasan prilaku pasar (market conduct). UU P2SK juga memberikan amanat baru, yaitu koperasi, asset keuangan digital, dan aset kripto," terang Greta.
Di sisi lain, Partner Dentons HPRP Erwin Kurnia Winenda membahas peluang UU P2SK dari sisi penambahan ruang lingkup BPR serta pengaturan Badan Pengelola Instrumen Keuangan dan Pengelola Dana Perwalian (Trustee) badan hukum atau perseorangan.
UU P2SK mengatur soal lembaga trust. Bukan dalam arti wali amanat yang sudah ada sekarang. Namun, lebih mengadopsi trust pada system common law. Namun, aturan ini masih perlu aturan implementasi yang jelas yang dilihat dari berbagai sisi antara lain, perpajakan pada saat penyerahan aset yang dikelola kepada trustee, maupun pengembalian aset yang dikelola kepada beneficiary, kemudian dari sisi kepailitan apabila yang dipailitkan adalah pemilik aset yang diserahkan untuk dikelola, belum lagi penggunaan jasa trust ini oleh pihak asing yang dapat menghindari batasan kepemilikan asing pada suatu usaha di Indonesia.
"Kemudian dari sisi pasar modal yang bisa terkait dengan transaksi benturan kepentingan atau pihak pengendali, serta dari sisi data protection sampai sejauh mana data dari pihak-pihak dalam trust ini dapat dijaga," katanya.
Baca Juga: Kewenangan Penyidikan di UU PPSK Dinilai Jadi Penguat Fungsi OJK
Sementara itu, Pemimpin Divisi Legal BNI Johansyah Erwin, mengatakan BNI melihat peluang menciptakan ekosistem keuangan berkelanjutan dalam UU P2SK. Hingga akhir 2022, BNI telah mengalokasikan 28,5 persen kredit untuk green bank.
"Di BNI kami memperkuat ESG governance, ada Komite ESG dan work unit yang khusus mengembangkan dan arus utamakan dalam konteks bisnis dalam keseharian. Terus diadopsi agar mendukung usaha dalam konteks mengatasi perubahan iklim," ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum KADIN Shinta Kamdani mengatakan penerapan Environmental Social Governance (ESG) saat ini tidak bisa dihindari lagi karena keuntungan bisnis tidak lagi hanya mengandalkan laba dari kinerja keuangan.
Menurutnya, investor, melihat ESG sebagai faktor pengurang risiko investasi, seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap perubahan iklim, hak asasi manusia, dan transparansi perlindungan konsumen.
"Saya adalah contoh, perusahaan yang sedang menerapkan ESG di perusahaan kami. Kelompok usaha di Indonesia ini memang sudah agak ketinggalan menerapkan ESG, terus terang. Namun, itu tidak cukup di regulasi, harus adanya kesadaran dari dalam perusahaan keuangan," jelasnya.
Partner Dentons Rodyk Singapura, Ipshita Chaturvedi, mengatakan dengan mengabaikan ESG, kerugian jangka Panjang akan semakin besar. Tahun 2021, dana mengatasi dampak perubahan iklim USD850 miliar hingga USD940 miliar. Angka ini naik sebesar 28% hingga 42% dari tahun 2020.
Sebagai pembicara terakhir, Partner Dentons HPRP Fabian Buddy Pascoal menambahkan UU P2SK mengharuskan industri keuangan menerapkan sistem berkelanjutan untuk mengintegrasikan konservasi lingkungan, tata kelola perusahaan, dan kehidupan sosial masyarakat.
"Kepentingan ekologi dan ekonomi harus berjalan beriring. Manusia bisa mengampuni, tetapi alam tidak bisa. Satu hal lagi yang perlu kita ingat, bahwa kita hidup dalam satu 'perahu' yakni Planet Bumi. Kita punya panggilan yang sama menyelamatkan 'perahu bersama kita' tersebut dengan menerapkan ESG," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Ayu Almas