Soal Isu Ibu Pengajian, Pengamat Politik: Megawati Miliki Empati yang Kurang pada Isu Perempuan
Pernyataan yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri dalam acara Kick-Off Meeting Pancasila dalam Tindakan Gerakan Semesta Berencan Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta Mengantisipasi mengenai ibu-ibu yang mengikuti pengajian tidak memperhatikan anak-anak mereka telah menjadi kontroversial.
Tidak hanya itu, pernyataan tersebut pun menuai banyak kritikan dari berbagai pihak, termasuk kritikan bahwa pernyataan Megawati mengandung narasi negatif dan tidak mencermikan sosok dari seorang negarawan.
Memberikan tanggapannya terkait isu ini, pengamat politik Chusnul Mar'iyah dalam acara Perempuan Bicara tvOne menyampaikan bahwa alasan di balik kontroversi pernyataan Megawati dapat dilihat dari tiga hal, yaitu dari sisi ilmu politik menyangkut hak-hak warga negara, dari sisi pemahaman agama, dan juga dari sisi sebagai seorang terpelajar.
Baca Juga: Seolah Jawab Pertanyaan Megawati, Annisa Pohan Jabarkan Manfaat Ibu-ibu Hobi ke Pengajian
"Pertama kalau kita melihat bagaimana publik memahami tentang isu ini, tentang pernyataan Ibu Megawati, yaitu memahami bahwa ini berkaitan dengan agamanya. Jadi [publik memahaminya bahwa] agamanya yang diserang, nah ini yang hati-hati [...] Jadi publik menganggap bahwa ini adalah agama yang diserang, agama Islam yang diserang. Ini kenapa publik bereaksi," tutur Chusnul seperti dikutip dari video pada Sabtu (25/2/2023).
Kemudian Chusnul menyampaikan bahwa sebagai negarawan, Megawati seharusnya telah memahami akan konstitusi yang menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk beribadah dan menjalankan agamanya. Chusnul turut menyebut dalam isu pernyataan Megawati kali ini, nampaknya turut memperlihatkan bahwa Megawati memiliki kekurangan empati terhadap isu yang menyangkut perempuan.
"Di sini letaknya kalau kita melihat persoalan perempuan, sepertinya Ibu Megawati ini kurang apa istilahnya, ini bukan yang pertama, dulu juga kasus minyak goreng, jadi kurang empati kepada isu perempuan sepertinya kurang di dalam konteks ini. Mungkin karena dari kecil hidup di istana jadi kurang memiliki empati atau berpihak," ujar Chusnul.
Kemudian dengan posisi Megawati yang saat ini memiliki banyak gelar, termasuk sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Megawati yang seharusnya berbicara sebagai seorang profesional sebagai seorang terpelajar, seorang ilmuwan harus berbicara dengan menggunakan data, menggunakan argumen, baru kemudian mengambil kesimpulan dan harus menggunakan referensi yang tepat. Termasuk dalam pernyataan ibu-ibu pengajian yang tidak dapat mengurus rumah tangganya, Chusnul menilai bahwa hal tersebut kurang tepat untuk dikatakan jika tidak menggunakan hasil penelitian yang sesuai.
"Di sini letaknya, menghubungkan satu variabel dengan variabel yang lain, ini kita bicara tentang ada koherensi di dalam konteks kita berpikir," kata Chusnul menekankan. Ia menambahkan, "dan yang terakhir, apa sih sebenarnya fungsi agama? Ini acara Pancasila ya (acara saat Megawati menyampaikan pernyataannya)? Apalagi acara Pancasila, sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa."
Menurut Chusnul, secara ilmu politik, pengajian adalah bentuk channeling yang dilakukan oleh ibu-ibu. Ini merupakan bentuk atau cara ibu-ibu melakukan aktivitas politiknya. "Pemahaman saya dalam ilmu politik sampai hari ini adalah kalau kita bicara tentang politik, politik itu tidak bisa menekan agama, me-refresh agama, tapi agama bisa menjadi katalis dalam politik. Sehingga sebetulnya bukan menyatakan seperti itu, tetapi bersyukur karena emak-emaknya lebih memilih pergi ke pengajian dibandingkan turun ke jalan menurunkan rezim yang berkuasa."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: