Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ngeri! Pengamat Blak-blakan Sebut Tangan Jokowi 'Berlumuran Darah', Ada Apa?

        Ngeri! Pengamat Blak-blakan Sebut Tangan Jokowi 'Berlumuran Darah', Ada Apa? Kredit Foto: Setkab
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dapat sorotan tajam. Pengakuan Jokowi terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu dikritisi. Selain terlambat dan hanya sebatas aksesoris politik, Jokowi dianggap tak memiliki legitimasi moral untuk menangani perkara pelanggaran HAM berat.

        Sosiolog Politik UNJ Ubedilah Badrun menyatakan, rezim Jokowi juga menjadi aktor dalam perkara HAM berat. Sebab terdapat kasus tewasnya petani, mahasiswa, buruh pada masa pemerintahan Jokowi.

        “Jokowi itu tidak memiliki legitimasi moral untuk menangani pelanggaran HAM berat, sebab tanganya berlumuran darah. Ada darah mahasiswa, pelajar, pemuda, petani, buruh yang meregang nyawa pada periode kekuasaanya hingga saat ini,” kata Ubed di Jakarta, Sabtu (25/2/2023).

        Baca Juga: 'Nggak Terima' Esemka Kebanggaan Jokowi Disebut Full Buatan China, Rocky Gerang Blak-blakan: Angin Ban Mobilnya Asli Indonesia!

        Ubed mengakui pernyataan tersebut telah disampaikannya dalam diskusi publik yang digelar di Jakarta, Jumat kemarin. Diskusi dihadiri sejumlah tokoh seperti eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Adhi Massardi.

        Ubed melanjutkan, terjadinya pelanggaran HAM pada rezim Jokowi merupakan fakta yang turut tercatat dalam lembar sejarah. Dia membeberkan pada 2019 seorang mahasiswa di Kendari tewas tertembak aparat.

        Belum lagi kasus lainnya seperti tewasnya enam pemuda pada 2020 di KM 50. Tewasnya lebih dari 100 suporter dalam tragedi Kanjuruhan juga dapat digolongkan pelanggaran HAM berat apabila diusut secara imparsial dan independen.

        “Rezim ini menjadi bagian dari pelanggar HAM, tidak memiliki legitimasi moral,” ujarnya.

        Baca Juga: Ada Indikasi Ketidakadilan yang Melibatkan Tenaga Kerja China di Bentrokan Morowali, Anwar Abbas Minta Pemerintah Berbenah: Menyakiti...

        Pada sisi lain, lanjut Ubed, Presiden Gus Dur telah lebih dulu menyampaikan permintaan maaf terhadap korban tragedi 1965-1966. Permintaan maaf Gusdur yang disampaikan tahun 2000 lebih progresif dibanding Jokowi karena sebatas menyampaikan pengakuan.

        “Itu dilakukan hampir 23 tahun lalu. Selain itu era Gus Dur juga telah melahirkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia. Nah Jokowi mestinya jalankan Pengadilan Pelanggaran HAM berat itu, bukan sekadar menyampaikan pengakuan lalu memberi santunan, tanpa diputuskan di pengadilan siapa aktor sesungguhnya," kata Ubed.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: