Menganalisis situasi yang saat ini terjadi di dalam lingkungan Kementerian Keuangan, Profesor Abdul Malik dalam acara Zoominari Narasi Institute pada Jumat, 17 Maret 2023, menyampaikan bahwa saat ini kewenangan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih terlalu luas yang nampak dalam respons Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk sederet kasus.
"Ini menunjukkan tata keuangan kita harus dievaluasi secara menyeluruh. Terlihat sekali spend of control Kemenkeu ini terlalu luas sehingga Menkeu tidak mampu mengontrol semuanya. Ketika terjadi masalah, beliau tidak mampu mengatasi secara profesional. Harus ditata ulang sistem manajemen keuangan negara dan ide ini bukanlah ide baru. Tahun 1991 sudah direncanakan secara matang, tetapi gagal dilaksanakan," tutur Abdul seperti dikutip dalam siaran media pada Sabtu (18/3/2023).
Baca Juga: Transaksi Rp300 Triliun di Kemenkeu Belum Jelas, Warganet Berondong Mahfud MD: Uang Apa?
Pada tahun 1991, wacana penataan ulang sistem manajemen keuangan negara telah menjadi suatu rencana yang matang, tetapi rencananya terhenti dan batal dilaksanakan. Abdul menggarisbawahi ironi yang terjadi bahwa pada tahun 2003 atau 12 tahun setelah rencana itu batal, penataan yang komprehensif tidaklah terwujud dan justru kewenangan makin terpusat di Kementerian Keuangan.
Dengan terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2003, BAPPENAS tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal perencanaan alokasi anggaran sehingga praktis kewenangan alokasi anggaran terwenang pusat di Kemenkeu. BAPPENAS hanya bekerja dengan Kemenkeu terkait perencanaan fiskal, makro, dan kemudian menyusun rencana kerja pemerintah, tetapi tetap saja kewenangan anggaran ada di tangan Kementerian keuangan.
Menerangkan hasil dari pembatalan penataan ulang kewenangan Kementerian Keuangan yang kini justru makin membuat kusut benang berbagai kasus yang ada, Abdul menegaskan bahwa terkait dengan otoritas perencana manajemen keuangan negara beserta perannya perlu perlu dilakukan peninjauan kembali.
"Kalau kita melihat good practices dari negara-negara lain yang baik dalam manajemen keuangannya, otoritas keuangannya, fokusnya pada fungsi treasury, dipisahan dari fungsi pengelolaan pengumpulan pendapatan negara atau revenue services, badan, atau lembaga yang mengelola penerimaan atau pendapatan negara ini terpisah, fungsi planning dan budgeting ini juga terpisah. Kemudian, Kemenkeu ini fokus pada fungsi treasury karena Menkeu Keuangan adalah bendahara negara," ujar Abdul.
Abdul menyarankan pemerintah untuk melihat kembali dengan jernis tatanan manajemen keuangan Indonesia. Apalagi, kini kisruh dan hiruk pikuk yang terjadi tidak hanya melibatkan pajak, tetapi juga bea cukai dengan nilai fantastis Rp300 triliun.
Abdul menyugesti bahwa antara Kementerian Keuangan dan BAPPENAS dapat dipecah menjadi tiga bagian, terdiri dari otoritas perencanaan dan penganggaran sehingga penganggaran dapat didahului dengan perencanaan yang betul-betul kuat; Kementerian Keuagan yang fokus pada treasury; lalu ada pula penanggung jawab bidang planning dan budgeting yang dapat melakukan perencanaan serta bidang treasury yang dapat melaporkan berbagai macam pencatatan manajemen keuangan negara sehingga ada laporan yang transparan.
Baca Juga: Pakar Pertanyakan Sikap Mahfud MD Soal Kasus Transaksi Janggal Rp300 Triliun di Kemenkeu
"Jadi dengan apa yang terjadi sudah saatnya untuk menata ulang sistem manajemen keuangan negara kita. Sudah waktunya kita lihat secara mendasar tata ulang lembaganya yang realistis. Kalau kita yakin negara ini makin besar, portofolio kementerian juga makin besar. Jadi kalau 30 tahun yang lalu sudah diwacanakan pemisahan, saat ini kebutuhan akan pemisahan fungsi manajemen keuangan negara jauh lebih dibutuhkan dengan berbagai pertimbangan yang tadi sudah dipaparkan," pungkas Abdul.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: