Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        LKPU-FHUI: Dugaan Kartel Minyak Goreng Tak Didukung Bukti Kuat

        LKPU-FHUI: Dugaan Kartel Minyak Goreng Tak Didukung Bukti Kuat Kredit Foto: Antara/Adeng Bustom
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia atau LKPU-FHUI menemukan bahwa bukti yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara dugaan kartel minyak goreng tidak kuat.

        Ketua LKPU-FHUI Ditha Wiradiputra mengatakan, kenaikan harga yang diikuti kelangkaan minyak goreng di tahun 2021 hingga 2022 telah mendorong KPPU melakukan penyelidikan hingga pemeriksaan adanya indikasi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.

        Dalam dugaan tersebut, KPPU menyelidiki 27 perusahaan minyak goreng kemasan akibat diduga membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret–Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari–Mei 2022.

        Baca Juga: Kebijakan HET Jadi Penyebab Langkanya Minyak Goreng

        Ditha menyebut bahwa tindakan menaikkan harga suatu barang atau jasa dalam kegiatan usaha merupakan tindakan yang biasa dilakukan.

        "Sepanjang tidak dilakukan berdasarkan kesepakatan atau perjanjian, maka tindakan tersebut bukan perbuatan yang dilarang. Artinya, tidak tepat apabila investigator KPPU menggunakan tindakan menaikkan harga secara bersamaan sebagai bukti telah terjadi perjanjian," ujar Ditha dalam seminar, Senin (3/4/2023).

        Ditha mengatakan, bukti adanya komunikasi di antara pelaku ternyata hanya berbentuk rekapitulasi rapat-rapat di asosiasi, tanpa menunjukkan materi pembahasan dari rapat-rapat tersebut, khususnya pembicaraan mengenai harga. Ini tidak kuat apabila digunakan sebagai bukti adanya penetapan harga.

        "Dengan demikian, bisa dikatakan unsur-unsur perjanjian maupun penetapan harga sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5/1999 tidak terpenuhi,” ujarnya. 

        Lanjutnya, terkait dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf C UU Antimonopoli, investigator KPPU dalam LDP-nya menyatakan bahwa para terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan atau penjulan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng. 

        Adapun hal ini berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel untuk kurun waktu 2021 hingga awal 2022 yang menunjukkan adanya penurunan pasokan minyak goreng kemasan. 

        Ditha menilai bukti-bukti tersebut kurang relevan karena sejumlah pelaku usaha yang menjadi terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional.

        Dengan demikian, bukti yang dimiliki oleh investigator tidak dapat digunakan untuk menyatakan pelaku usaha yang bersangkutan telah melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan.

        “Data tren volume produksi dan volume penjualan minyak goreng kemasan periode Januari 2020 sampai dengan Mei 2022 yang disampaikan pelaku usaha juga menunjukan tidak terdapat selisih yang signifikan antara volume produksi dengan volume penjualan selama periode dugaan pelanggaran. Ini menjadi bukti bahwa pelaku usaha yang menjadi terlapor tidak melakukan pembatasan peredaran atau penjualan minyak goreng,” ucapnya.

        Lanjutnya, ia menilai investigator KPPU mengesampingkan faktor-faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng, seperti kebijakan pemerintah yang kurang tepat, meningkatnya harga CPO dunia, serta praktik spekulasi dari sejumlah pelaku usaha ritel yang tidak ingin mengalami kerugian karena kebijakan HET.

        Selain itu, KPPU sebaiknya juga mempertimbangkan putusan Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor CPO. Berkaca dari perkara tersebut, majelis hakim dalam amar putusannya juga menyatakan bahwa kelangkaan minyak goreng tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemerintah.

        Di mana menurut majelis hakim, intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya dalam penetapatan HET ikut berkontribusi dalam kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng karena tindakan tersebut tidak didukung infrastruktur sebagaimana pada sektor BBM, yakni keberadaan Pertamina. 

        "Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: