AS Terancam Gagal Bayar Utang, Indef Beber Dampaknya ke Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2023 tumbuh sebesar 5,03 persen Year on Year (YoY), meningkat dibandingkan triwulan I 2022 yang tumbuh sebesar 5,02 persen YoY.
Sementara itu, saat ini ekonomi global semakin ramai oleh fluktuasi ekonomi Amerika Serikat, yang bahkan disebut dapat gagal membayar utangnya.
Melalui konferensi pers Ekonomi Indonesia di Tengah Pusaran Risiko Gagal Bayar Utang Amerika, peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) membahas dampaknya pada Indonesia pada Senin (8/5/2023) secara virtual.
Baca Juga: Anies Baswedan Buka-bukaan Soal Pertumbuhan Ekonomi di Zaman Presiden Jokowi yang Tidak Merata
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Abdul Manap Pulungan menyebut bahwa defisit fiskal di Amerika Serikat terus meningkat dengan lonjakan belanja yang tidak bisa dihindari. Angka defisit AS mencapai US$1,37 triliun pada tahun 2022.
Sementara itu, pertumbuhan rata-rata pendapatan di US hanya 2,93% per tahun, dan belanjanya naik di angka 5,78% per tahun.
Ketika ada potensi gagal bayar utang, menurut Abdul, bisa dilihat bagaimana dependensi Indonesia pada Amerika Serikat. “Penurunan ini akan berdampak, jika di-shut down, maka ada penurunan permintaan ekspor dari AS,” kata Abdul menjelaskan pengaruhnya pada Indonesia dalam konferensi pers tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa gejala di AS ini sangat jamak, mulai dari masalah kebijakan moneter, muncul potensi gagal bayar, dan adanya kecenderungan negara-negara lain untuk mengurangi penggunaan dolar. Nantinya, hal ini akan menghimpit ekonomi AS.
Gejala gagal bayar utang juga pernah terjadi di AS di tahun 2016. Maka dari itu, menurut Abdul, fenomena ini tidak akan berdampak begitu signifikan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyebut bahwa meskipun efeknya tidak besar, namun akan tetap terasa bagi Indonesia.
“Kalau resesi ini terus berlangsung, dampaknya ke kita akan semakin memburuk,” terangnya.
AS menjadi salah satu mitra dagang utama ekspor dan impor non migas Indonesia. Saat ini, ekspor nonmigas dari Indonesia ke AS mengalami penurunan sejumlah 22,14 persen, dari US$4,9 juta menjadi US$3,8 juta, dengan kontribusi yang cukup besar mencapai 9,41 persen.
Sebaliknya, impor nonmigas justru naik sebesar 20,13 persen. Hal ini menjadi celah yang menguntungkan bagi AS di bidang impor, namun merugikan beberapa industri lokal. Industri yang bergantung pada ekspor, seperti kulit, alas kaki, furnitur, tekstil, dan kayu menjadi pihak yang mengalami dampak langsung dari resesi ini AS.
Tauhid juga menjelaskan, jika resesi semakin buruk tanpa diikuti antisipasi utang oleh pemerintah, Indonesia akan semakin terdampak.
“Kita harus berhati-hati, bukan hanya soal utangnya, namun ekonomi secara umum,” tukasnya.
Terkait industri-industri yang terdampak sendiri, Kepala Center of Macroeconomics and Finance INDEF M Rizal Taufikurahman menjelaskan bahwa industri tersebut sebagian besar ditopang oleh ekspor. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan pencarian bahan baku.
“Perlu perhatian penting agar jangan mengandalkan perdagangan saja,” ujar Rizal.
Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa kondisi perdagangan di Indonesia, khususnya di industri terdampak seperti kulit, alas kaki, furnitur, tekstil, dan kayu sangat tergantung dengan kondisi pasar global.
Untuk mengantisipasi gejala di AS ini, menurut Rizal, Indonesia perlu memperkuat mata uang. Penguatan ini tidak hanya perlu dilakukan dari sisi suku bunga, tapi juga melalui usaha ekspor supaya barang-barang jadi memiliki nilai yang lebih tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tara Reysa Ayu Pasya
Editor: Rosmayanti