Selamatkan Keterwakilan Perempuan Di Parlemen, Rieke Minta Revisi Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023
Aktivis dan politisi perempuan Rieke Diah Pitaloka meminta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 segera direvisi.
Sebab, PKPU ini, khususnya Pasal 8 Ayat 2 merupakan bentuk kekerasan simbolik kepemiluan terhadap perempuan.
Peraturan ini bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum jo Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017.
"Serta bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita," kata Rieke dalam keterangannya, Rabu (17/5).
Dia meminta KPU untuk merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat (2) diselaraskan dengan perintah UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245. Tanpa perlu menunggu gugatan ke dan hasil gugatan judicial review di Mahkamah Agung.
"Saya juga mendukung DKPP berperan aktif dalam merespon PKPU yang terindikasi kuat bertentangan dengan undang-undang," tegasnya.
Rieke meminta dukungan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Komisi II DPR RI, dan MPR RI untuk memberikan pemahaman hukum berperspektif keadilan gender kepada KPU untuk segera merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 Ayat (2).
"Saya meminta seluruh stakeholder komitmen menyelamatkan keterwakilan perempuan di parlemen," tandas Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) ini.
Dipaparkan, Indonesia telah meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Namun, pasca Reformasi 1998, pada Pemilu 1999 ternyata keterwakilan perempuan di Parlemen hanya 9 persen. Saat itu terindikasi kuat kendala pada tahap pencalonan bagi calon perempuan dalam kontestasi Pemilu.
Gerakan perempuan selanjutnya mendorong kuota keterwakilan perempuan 30 persen masuk di pemilu demokratis.
Maka lahirlah aturan hukum tentang kuota perempuan 30 persen di UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Hasilnya, keterwakilan Perempuan di parlemen hasil Pemilu 2004 naik jadi 11 persen.
Adapun keterwakilan perempuan hasil Pemilu 2009 sebanyak 18,04 persen, Pemilu 2014 sebesar 17,3 persen, dan 2019 naik menjadi 20,8 persen.
Sementara diketahui, peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pasal 8 ayat 2 berbunyi:
"Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah atau 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas," begitu bunyi pasal tersebut.
Diterangkan Rieke, PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 8 ayat 2 di atas berakibat pembulatan desimal yang terjadi berpotensi kuat mengurangi persentase kuota 30 persen.
Rieke mencontohkan, misalnya untuk Daerah Pemilihan dengan jumlah Calon Legislatif 7 orang. Ketika yang diajukan hanya 2 orang, maka 2/7 adalah 0,285. Ketika pembulatan desimal ditarik ke bawah, maka prosentase hanya 28,57 persen, alias tidak memenuhi syarat minimum yang ditetapkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: