Sudah lebih satu tahun invasi Rusia ke Ukraina, konflik yang santer diberitakan media sepanjang tahun 2022 itu kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, walaupun konflik tersebut terjadi di Eropa, dampak yang diakibatkannya secara signifikan merambah berbagai belahan dunia.
Tambahan pula, invasi Rusia ke Ukraina itu telah memperburuk krisis ekonomi yang telah terjadi pada tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Dunia yang sedang berharap untuk dapat pulih dari krisis itu harus menghadapi problema terganggunya pasokan pangan dan minyak dunia akibat konflik antara Rusia dan Ukraiana itu.
Baca Juga: Angkatan Udara Amerika Kuak Prediksi Dampak Penggunaan Jet Tempur F-16 di Ukraina
Oleh karenanya, setiap upaya untuk menyelesaikan konflik ini memiliki urgensi yang sangat besar. Tanpa penyelesaian konflik di atas, perdamaian dunia dan stabilitas ekonomi internasional sulit terwujud.
Sejak masa-masa awal dilancarkannya invasi Rusia ke Ukraina, negara-negara Barat yang antara lain terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, serta negara-negara Eropa yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah mengutuk agresi Rusia yang dipandang melanggar tatanan internasional.
Negara-negara itu bersepakat untuk menjatuhkan sanksi ekonomi demi menekan Rusia untuk segera menghentikan invasinya yang sudah menelan puluhan ribu korban, yang terdiri dari prajurit di kedua belah pihak dan warga sipil di Ukraina.
Namun di tengah upaya negara-negara Barat mendukung Ukraina mempertahankan diri, sebagian negara-negara di Asia dan kawasan lainnya memilih untuk mengambil sikap hati-hati dalam merespons invasi Rusia ke Ukraina itu.
Berbeda dengan negara-negara Barat dan ratusan negara kawasan lainnya yang mengambil sikap kontra terhadap invasi Rusia, beberapa dari negara-negara Asia mengambil sikap netral. Sikap netral ini terlihat, misalnya, dalam pemungutan suara untuk mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberi tekanan pada Rusia, baik pada Maret tahun 2022 maupun Februari 2023 lalu.
China adalah salah satu dari negara-negara yang memperlihatkan sikap “netral” dan oleh karenanya mendapat banyak sorotan dari media. Sikap seolah netral itu tampaknya dipengaruhi oleh dua hal yang penting untuk kita pahami.
Pertama, terdapat konteks bahwa China dan Rusia merupakan “teman baik” yang beraliansi untuk menghadapi negara-negara Barat. China juga bergantung kepada Rusia dalam menjamin ketahanan energinya dan China juga merupakan mitra dagang terbesar bagi Rusia.
Selain itu, perlu diketahui pula bahwa beberapa waktu sebelum Rusia menginvasi Ukraina, Chinadan Rusia baru saja mengumumkan kemitraan “tanpa batas” (no limits partnership) dalam hubungan bilateral mereka.
Kedua, kehati-hatian China tampaknya dipengaruhi pula oleh upaya China dalam menggapai posisi strategis tertentu dalam dunia internasional. Namun apapun penyebabnya, respons China terhadap invasi Rusia ke Ukraina merupakan hal yang cukup menarik untuk kita telaah.
Sumber: Artikel Callesya Lovely, Forum Sinologi Indonesia
Di saat negara-negara lain dengan vokal mengutuk invasi Rusia ke Ukraina, China menolak untuk melakukan hal yang sama. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali November lalu, China memilih untuk tidak menggunakan kata “perang” untuk mendeskripsikan situasi yang sedang terjadi di Ukraina.
China juga menolak untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia dan mengkritisi bahwa sanksi yang diberikan oleh negara-negara Barat malah “memperburuk krisis pangan dan kesulitan finansial di negara berkembang dan menimbulkan lebih banyak kesulitan kepada masyarakat.”
Baca Juga: Diminta Jelaskan Eror dalam Bantuan di Ukraina, Gedung Putih Cuma Kasih Jawaban Begini
Diterjemahkan dari pidato Wang Yi, diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri China, yang berjudul “Maintain a Global Vision, Forge Ahead with Greater Resolve and Write a New Chapter in Major-Country Diplomacy with Chinese Characteristics,” Desember 2022 lalu, China dengan resmi menyatakan bahwa, “Sehubungan dengan krisis Ukraina, kami secara konsisten menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar objektivitas dan ketidakberpihakan, tanpa memihak salah satu pihak, atau memantik api, apalagi mencari keuntungan sendiri dari situasi tersebut.”
Tak hanya itu, pada masa awal pecahnya konflik Rusia-Ukraina, China abstain (tidak memberikan suara) dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang mengecam invasi Rusia itu. Kamis, 16 Februari lalu, tepat satu tahun Rusia menginvasi Ukraina, PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menuntut Rusia untuk menarik mundur pasukannya dan segera menghentikan perang. Tercatat 141 negara anggota, termasuk Indonesia, yang menyetujui resolusi tersebut. Akan tetapi, China kembali abstain.
Yang menarik, meski abstain dalam dua resolusi di atas, serta tidak bersedia mengutuk Rusia atas invasinya ke Ukrania, China turut memberikan bantuan kemanusiaan kepada Ukraina sejak satu bulan pertama pecahnya konflik Rusia-Ukraina.
Dalam sebuah dokumen resmi yang baru saja dirilis oleh Kementerian Luar Negeri China pada 17 Februari lalu, China menyerukan untuk memulai kembali dialog untuk mewujudkan perdamaian, menyudahi sanksi sepihak, dan menentang sikap Rusia yang mengancam akan menggunakan senjata nuklir dalam invasinya.
China juga menambahkan bahwa ia akan terus memainkan “peran yang konstruktif”, tanpa memberikan elaborasi lebih lanjut. Terakhir, China juga menawarkan diri untuk menjadi mediator bagi Rusia dan Ukraina.
Saat penulis menulis artikel ini, pada 13 Maret, dikabarkan bahwa Presiden China, Xi Jinping, akan menelepon dan berdialog dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dalam waktu dekat dan ini akan menjadi komunikasi pertama Xi dengan Zelensky sejak invasi Rusia ke Ukraina.
Respons China yang tampaknya ambivalen ini tentu mengundang banyak kritik dari masyarakat dunia. Terdapat kekhawatiran bahwa hubungan bilateral yang erat antara China dan Rusia akan membuat China mendukung Rusia dalam invasinya, baik secara militer maupun finansial.
Kekhawatiran ini terlihat, misalnya, dalam peringatan keras presiden AS Joe Biden kepada Presiden China, Xi Jinping. Dalam sebuah pertemuan daring antara keduanya, Biden dengan keras memberi peringatan kepada Xi bahwa akan ada “konsekuensi bila China memberikan dukungan material atau militer kepada Rusia.”
Menanggapi kekhawatiran di atas, Wang Yi menegaskan, “China tidak menyediakan dan memberikan senjata ke Rusia karena itu adalah bagian dari kebijakan luar negeri kami untuk tidak mempersenjatai pihak yang berkonflik.” Wang Yi juga menyampaikan, “Kami menginginkan solusi politik untuk memberikan kerangka kerja yang damai dan berkelanjutan ke Eropa.”
Bagaimana kita memahami sikap China yang tampaknya ambivalen itu? Dalam pandangan penulis, sikap China di atas perlu dipahami dalam konteks rivalitas yang tajam antara China dan Amerika Serikat. China tampaknya berpandangan bahwa bergabung dengan aliansi negara-negara Barat dalam mengutuk invasi Rusia dan juga memberikan sanksi ekonomi dapat membuatnya dianggap tunduk kepada kehendak AS.
Selain itu, China tampaknya masih berharap untuk mempertahankan hubungannya dengan Rusia. Sebagaimana disampaikan oleh Kevin Rudd, mantan Perdana Menteri Australia, dalam sebuah wawancara dengan CNN, hubungan yang baik dengan Rusia sangat penting bagi China karena China ingin memastikan bahwa tidak terjadi konflik perbatasan di perbatasan Rusia-China agar China dapat melancarkan aktivitas militernya di front lain.
Inilah yang menyebabkan China memilih untuk bersikap abstain alih-alih memberikan dukungan langsung pada Ukraina, atupun turut serta mengutuk Rusia, yang adalah “sahabat”nya. Di lain sisi, China juga terdesak untuk tidak bisa bersikap acuh tak acuh dalam masalah ini bila China ingin memosisikan diri sebagai sebuah negara yang memiliki peran sentral dalam komunitas internasional.
Agar diakui sebagai sebuah kekuatan besar, China perlu memperlihatkan tanggung jawab yang besar pula untuk berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia. Itulah sebabnya, meski bersikap abstain dalam dua resolusi PBB dan memilih untuk tidak mengutuk Rusia, China memperlihatkan upaya mencari solusi diplomatik terhadap invasi Rusia pada Ukraina, antara lain dengan menawarkan diri sebagai penengah.
Namun demikian, sikap China yang seolah-olah netral justru berpotensi memperpanjang konflik di dua negara Eropa di atas. Keengganan China untuk mengutuk Rusia dan sikap abstainnya dalam dua resolusi PBB yang diambil di tahun 2022 dan 2023 sedikit banyak berpotensi memberi angin bagi Rusia.
Sebagai sebuah negara yang diandalkan oleh Rusia, China seyogianya bisa menggunakan pengaruhnya untuk memberikan tekanan lebih bagi Rusia untuk menarik mundur pasukannya, sebelum solusi diplomatik dalam jalur damai yang juga diusulkan oleh China dapat dilaksanakan.
Bila langkah di atas diambil, China akan memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, bila berhasil, langkah di atas akan mendemonstrasikan pengaruh China terhadap negara besar lainnya, dalam hal ini adalah Rusia. Kedua, langkah di atas berpotensi memperlihatkan kepada dunia bahwa China merupakan pemangku kepentingan yang bertanggung jawab (responsible stakeholder) dalam masyarakat internasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: